Rabu, 24 April 2013

Rahasia Kematian Hanya Allah yang Tahu

Kisah Teladan | Rahasia Kematian Hanya Allah yang Tahu

Kisah Teladan | Rahasia Kematian Hanya Allah yang Tahu

Bismillahir-Rahmanir-Rahim...

ADA DUA LELAKI. Keduanya adalah saudara kandung. Lahir di dalam keluarga yang taat beragama. Namun perilaku dua orang itu berbeda dan akhir hidup mereka juga berbeda.
Yang tua, sejak kecil dikenal baik, alim dan ahli ibadah. Ia tidak suka menyakiti orang lain. Tidak suka hura-hura. Tak pernah menyentuh gelas minuman keras apalagi meminumnya. Waktu mudanya banyak dihabiskan di masjid. Ia juga tidak suka bergaul dengan wanita yang bukan mahramnya. Pernah ia dirayu seorang gadis cantik yang masih sepupunya, namun ia teguh dalam keimanannya. Karena amal perbuatannya yang baik dan akhlaknya ia dicintai oleh keluarga dan masyarakat.
Sedangkan adiknya, sangat berbeda dengan kakaknya. Sejak kecil ia dikenal nakal. Sejak remaja sudah biasa masuk tempat maksiat. Rumah bordil adalah tempat biasa ia mangkal. Hampir tiap hari ia mabuk dan melakukan pelbagai macam maksiat di rumah bordil miliknya itu. Kadang-kadang ia juga ikut gerombolan perampok, untuk merampas harta orang lain. Saat merampok ia bahkan terkadang juga melakukan pemerkosaan. Hampir segala jenis maksiat dan perbuatan yang menjijikan telah ia lakukan untuk memuaskan hawa nafsunya. Perbuatan jahatnya itu membuat dirinya dibenci oleh keluarga dan masyarakat....

Suatu ketika, sang kakak yang alim dan ahli ibadah merenung. Tiba-tiba dengan halus sekali nafsunya berkata padanya,
“Sejak kecil kau selalu berbuat kebaikan dan beribadah. Kau telah mendapat tempat di hati masyarakat dan dikenal sebagai orang baik. Namun kau tidak pernah merasakan nikmatnya hidup sedikitpun. Kenapa tidak sesekali kau datang ke tempat adikmu menghibur diri di rumah bordilnya. Sesekali saja. Setelah itu kau bisa tobat. Kau bisa membaca istighfar ribuan kali dalam sholat tahajjud. Bukankah Allah itu Maha Pengampun ?”
Bujukan hawa nafsunya itu ternyata masuk dalam pikirannya. Setan pun dengan sangat halus masuk melalui pori-pori dan aliran darah. Ia berkata pada diri sendiri, “Benar juga. Kenapa aku tidak sesekali menghibur diri? Hidup cuma sekali. Nanti malam aku mau menari dan bersenang-senang bersama wanita cantik di rumah bordil adikku. Setelah itu aku pulang dan bertobat kepada Allah Swt. Dia Maha Pengasih lagi Maha Pengampun.”
Sementara di rumah bordil. Adiknya juga merenung. Ia merasa jenuh dengan hidup yang dijalaninya. Nuraninya berkata,
“Sudah bertahun-tahun aku hidup bergelimang dosa. Bermacam maksiat telah aku lakukan. Apakah aku akan hidup begini terus? Keluarga membenciku karena perbuatanku. Juga masyarakat, mereka memusuhiku karena kejahatanku. Kenapa aku tidak mencoba hidup baik-baik seperti kakak. Ah, bagaimanakah besok kalau aku telah mati. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan perbuatanku. Kalau begini terus kelak aku akan masuk neraka. Hidup susah di akhirat sana. Sementara kakakku akan hidup nikmat di surga. Tidak! Aku tidak boleh hidup dalam lembah maksiat terus. Aku harus mencoba hidup di jalan yang lurus. Nanti malam habis maghrib aku akan ke masjid tempat kakak beribadah. Aku mau tobat dan ikut shalat. Aku mau kembali ke pangkuan Allah Swt. Aku mau beribadah sepanjang sisa hidupku. Semoga saja Allah mau mengampuni dosa-dosaku yang telah lalu.”
Dan benarlah. Ketika malam datang kedua saudara itu melakukan niatnya masing-masing. Usai shalat maghrib, sang kakak kembali ke rumah, ganti pakaian dan bergegas menuju rumah bordil. Adapun sang adik, telah pergi meninggalkan rumah bordil begitu mendengar suara azan maghrib. Jalan yang diambil dua bersaudara itu tidak sama, sehingga keduanya tidak berjumpa di tengah jalan.
Sampai di rumah bordil sang kakak mencari adiknya. Namun tidak ada. Orang-orang yang ada di rumah bordil tidak ada yang tahu kemana adiknya itu pergi. Meskipun adiknya tidak ada ia tetap melaksanakan niatnya. Nafsu telah menguasai akal pikirannya. Ia pun menuruti segala yang diinginkan nafsunya di rumah bordil itu bersama para penari dan pelacur.
Di tempat lain, sang adik sampai masjid tempat kakaknya biasa ibadah. Ia sudah bertekad bulat untuk tobat meninggalkan semua perbuatan buruknya. Ia mengambil air wudhu dan masuk ke dalam masjid. Ia mencari-cari kakaknya, ternyata tidak ada. Padahal biasanya kakaknya selalu beritikaf di masjid usai maghrib sampai isya. Ia bertanya pada penjaga masjid, namun ia tidak tahu kemana perginya. Meskipun tidak ada kakaknya niatnya telah bulat. Ia melakukan shalat dan beristighfar sebanyak-banyaknya dengan mata bercucuran air mata.
Tiba-tiba bumi tergoncang dengan hebatnya.
“Awas ada gempa ! Ada gempa !” teriak orang-orang di jalan.
Orang-orang panik keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri. Takut kalau-kalau rumah mereka runtuh. Sang adik yang sedang larut dalam kenikmatan tobatnya tidak beranjak dari dalam masjid. Ia tidak merasakan ada gempa. Demikian juga sang kakak yang saat itu sedang terlena di rumah bordil. Ia sama sekali tidak merasakan gempa. Goncangan gempa malam itu cukup keras. Beberapa bangunan roboh. Termasuk masjid dan rumah bordil.
Keesokan harinya. Sang kakak ditemukan tewas diantara reruntuhan rumah bordil di samping mayat seorang penari wanita dalam keadaan yang memalukan. Sedangkan adiknya juga ditemukan tewas di antara reruntuhan masjid. Kedua tangannya mendekap sebuah mushaf di dada.
Masyarakat yang tahu ihwal kedua kakak beradik itu meneteskan air mata. Mereka tidak habis pikir, orang yang selama ini dikenal ahli ibadah kok bisa tewas dengan cara yang sedemikian tragisnya. Sedangkan adiknya yang selama ini dikenal ahli maksiat kok bisa husnul khatimah. Dengan peristiwa itu orang-orang diberi pelajaran yang sangat berharga. Bahwa kematian bisa datang kapan saja. Hanya Allah yang tahu. Maka jangan sekali-kali iseng menuruti hawa nafsu. Siapa tahu saat sedang menuruti hawa nafsu itulah maut menjemput. Na’udzubillahi min dzalik. Bahwa niat baik harus selalu dijaga, agar Allah Swt menganugerahkan akhir hidup yang indah. Akhir hidup yang diridhai-Nya.
“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keteguhan dan keistiqomahan berada dalam jalan-Mu. Karuniakanlah kepada kami husnul khatimah. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.”

Tujuh Tanda Kebahagiaan Dunia

Kisah Teladan | Tujuh Tanda Kebahagiaan Dunia

Kisah Teladan | Tujuh Tanda Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (orang yang paling ahli dalam menerjemahkan Al-Quran). Beliau sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah.Ia pernah secara khusus didoakan oleh Rasulullah maka pada usia 9 tahun telah hafal Al-Quran dan menjadi imam di masjid, ''Ya Allah pahamkanlah (faqihkanlah) ia.'' (HR. Muslim).Menurut Ibnu Abbas ada 7 tanda kebahagiaan dunia, yaitu :
Jika diberi kesenangan, orang yang beriman akan ikhlas dan bersyukur dengan memuji Allah, berdoa, membagikan rizki dan nikmat kepada yang lainnya.Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah) dan tidak berambisi yang berlebihan sehingga ia akan merasakan ketenangan....

Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Sebaliknya seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya. Pasangan hidup yang saleh akan menciptakan suasana rumah menjadi teduh sehingga terasa indah dan menentramkan.
"Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakannya." (HR. Muslim)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" (QS. At Taubah : 119) Rasulullah juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan yakni sering menasehati dan membangkitkan semangat keimanan sehingga kita pun dapat menularkan nuansa kebaikan kepada lingkungan sekitar kita.
Harta yang halal akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya agar barokah.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, semakin cinta kepada agamanya sehingga semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan menghidupkan hatinya, hati yang hidup adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.
Umur yang barokah artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah dan mempersiapkan diri untuk akhirat sehingga ia semakin rindu untuk bertemu dengan Allah. Inilah semangat hidup orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah.

Kekuatan Besar Didalam Niat

Kisah Teladan Islam | Kekuatan Besar Didalam Niat

Kisah Teladan Islam | Kekuatan Besar Didalam Niat


Dahulu ada seseorang dari Bani Israil yang alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Suatu ketika ia didatangi sekelompok orang. Mereka berkata, ”Di daerah ini ada suatu kaum yang tidak menyembah Allah, tapi menyembah pohon.” Mendengar hal itu ia segera mengambil kampak dan bergegas untuk menebang pohon itu. Melihat gelagat tersebut, iblis mulai beraksi dan berusaha menghalangi niat orang alim itu. Ia mengecohnya dengan menyamar sebagai orang tua renta yang tak berdaya. Didatanginya orang itu setelah ia tiba di lokasi pohon yang dimaksud.
”Apa yang hendak kau lakukan?” tanya iblis. Orang alim itu menjawab, ”Aku mau menebang pohon ini!”
“Apa salahnya pohon ini?” tanya iblis lagi.....

“Ia menjadi sesembahan orang-orang selain Allah. Ketahuilah ini bukan termasuk ibadahku.” Jawab orang alim itu.
Tentu saja iblis tidak menginginkan niat orang itu terlaksana dan tetap berusaha untuk menggagalkannya.
Karena iblis berusaha menghalang-halanginya, orang alim itu membanting iblis dan menduduki dadanya. Di sinilah iblis yang licik mulai beraksi. ”Lepaskan aku supaya aku dapat menjelaskan maksudku yang sebenarnya,” kata iblis.
Orang alim itu kemudian berdiri meninggalkan iblis sendirian. Tapi ia tidak putus asa. ”Hai orang alim, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini atas dirimu karena engkau tidak akan menyembah pohon ini. Apakah engkau tidak tahu bahwa Allah mempunyai Nabi dan Rasul yang harus melaksanakan tugas ini.”
Orang alim tersebut tak mempedulikannya dan tetap bersikeras untuk menebang pohon itu. Melihat hal itu, iblis kembali menyerang. Tapi orang alim itu dapat mengalahkanya kembali. Merasa jurus pertamanya gagal, iblis menggunakan jurus kedua. Ia meminta orang alim itu untuk melepaskan injakan di dadanya.
”Bukankah engkau seorang yang miskin. Engkau juga sering meminta-minta untuk kelangsungan hidupmu,” tanya iblis.
”Ya, memang kenapa,” jawab orang itu tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan tergoda.

“Tinggalkan kebiasaan yang jelek dan memalukan itu. Aku akan memberimu dua dinar setiap malam untuk kebutuhanmu agar kamu tidak perlu lagi meminta-minta. Ini lebih bermanfaat untukmu dan untuk kaum muslimin yang lain daripada kamu menebang pohon ini,” kata Iblis merayu.
Orang itu terdiam sejenak. Terbayang berbagai kesulitan hidup seperti yang didramatisasi iblis.
Rupanya bujuk rayu iblis manjur. Ia pun mengurungkan niatnya. Akhirnya ia kembali ke tempatnya beribadah seperti biasa. Esok paginya ia mencoba membuktikan janji iblis. Ternyata benar. Diambilnya uang dua dinar itu dengan rasa gembira. Namun itu hanya berlangsung dua kali. Keesokan harinya ia tidak lagi menemukan uang. Begitu juga lusa dan hari-hari selanjutnya. Ia pun marah dan segera mengambil kapak dan pergi untuk menebang pohon yang tempo hari tidak jadi ditebangnya.
Lagi-lagi iblis menyambutnya dengan menyerupai orang tua yang tak berdaya.
”Mau ke mana engkau wahai orang alim?”
”Aku hendak menebang pohon sialan itu,” jawabnya emosi.
“Engkau tak akan mampu untuk menebang pohon itu lagi. Percayalah! Lebih baik engkau urungkan niatmu,” jawabnya melecehkan.
Orang alim itu berusaha melawan Iblis dan berupaya untuk membantingnya seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
”Engkau tak akan dapat mengalahkanku,” sergah iblis.
Kemudian iblis melawannya dan berhasil membantingnya. Sambil menduduki dadanya, iblis berkata, ”Berhentilah kamu menebang pohon ini atau aku akan membunuhmu.”
Orang alim itu kelihatannya tidak punya tenaga untuk mengalahkan iblis seperti yang pernah dilakukannya sebelum itu.
”Engkau telah mengalahkan aku sekarang. Lepaskan dan beritahu aku, mengapa engkau dapat mengalahkanku,” tanya orang alim.
Iblis menjawab, ”Itu karena dulu engkau marah karena Allah dan berniat demi kehidupan akhirat. Tetapi kini engkau marah karena kepentingan dunia, yaitu karena aku tidak memberimu uang lagi.”
-----------------------------------------------

Kisah yang diuraikan Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukasyafatul Qulub itu memberi pelajaran bahwa betapa pentingnya nilai sebuah keikhlasan, yakni berbuat kebajikan tanpa pamrih kecuali hanya mencari ridho Allah SWT. Ikhlas ini merupakan ruh ibadah kepada Allah SWT. Karena itu untuk mewujudkan ibadah yang berkualitas kepada Allah SWT kita harus pandai-pandai menata niat. Niat inilah yang akan membawa konsekuensi pada diterima atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan.
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya, seseorang itu akan memperoleh apa yang telah diniatkannya. Barang siapa hijrahnya itu karena Allah dan rasulnya, maka ia akan memperoleh pahala dan barang siapa hijrahnya itu karena harta atau wanita, maka ia akan memperoleh apa yang telah diniatkanya itu.”
Asal muasal hadits ini adalah ketika Rasulullah SAW berdakwah di negeri Mekah merasa sulit karena selalu mendapatkan perlawanan hebat dari kaum Quraisy. Beliau akhirnya mendapat perintah untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Beliau pun memerintahkan para sahabat untuk berhijrah. Tapi para sahabat ternyata punya motivasi yang berbeda-beda dalam melakukan hijrah. Mulai dari sahabat yang ikhlas mencari keridhoan Allah SWT hingga alasan wanita, harta, dan benda. Karena itu Rasulullah menginstruksikan kepada para sahabat untuk menata niat mereka melalui hadits itu.
Memang niat mudah diucapkan namun sukar untuk dipraktikkan. Saat kita punya niat baik, maka saat itu juga iblis telah bersiap siaga untuk menjerumuskan dan merusaknya. Padahal awalnya niat itu murni karena Allah. Itulah sebabnya, IbnuQoyim mengatakan bahwa ikhlas itu membutuhkan keikhlasan (al-ikhlashu yahtaju ilal ikhlash).
Niat itu bersarang dalam hati. Agar ia tetap terjaga utuh, seseorang harus menata niatnya sebelum melakukan amal, ketika melakukannya, dan sesudah selesai. Dan hal itu bisa dimiliki dengan melalui berbagai latihan (riyadhah) mental yang intensif, yakni berusaha menata niat, karena ia tidak akan serta merta bersih dengan sendirinya.

Yang perlu diwaspadai, iblis menggoda manusia sesuai dengan kualitas ketaatannya kepada Allah. Semakin berkualitas seseorang kepada Allah, maka akan digoda oleh iblis kelas berat. Di sinilah pentingnya kita selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT untuk menjaga niat.
Apalagi manusia memiliki nafsu yang cenderung mengarahkan kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Bila ia tidak diarahkan sebagaimana mestinya, maka ia akan bekerja sama dengan iblis untuk merusak niat seseorang, baik itu lewat penyakit ujub, riya, dan sum’ah.
Kunci ibadah adalah ikhlas. Dan ikhlas itu ada di dalam hati orang yang melakukan amal tersebut. Maka sah atau tidaknya pahala amal itu, tergantung pada niat ikhlas atau tidak hati pelakunya. Jika dalam melakukan amal itu hatinya bertujuan untuk mendapat pujian dari manusia, maka hal itu berarti tidak ikhlas. Akibatnya amal ibadah yang diusahakannya tidak menerima pahala dari Allah.
Kita benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk memasang niat dengan ikhlas dalam setiap ibadah kita. Jangan dicampuri niat itu dengan hal yang lain, yang nantinya akan merusak pahala amal ibadah tersebut. Allah berfirman:
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah: 5)
Sebagai seorang muslim, kita harus bercermin dari kisah antara iblis dan orang alim dari Bani Israil di atas. Semoga Allah SWT melindungi kita dari iblis si perusak amal. (Yusuf Mansyur Network)

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib RA

Kisah Cinta Mengharukan | Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib RA

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!....

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
“Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. 
Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyaksikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyaksikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
“Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
"Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”

“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar kamu tidak mengerti, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku?
dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
 
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Diambil dari "Jalan Cinta Para Pejuang" karangan Salim A. Fillah

Kisah Nyata | Harga Wajah Wanita di Persidangan


Kisah Nyata | Harga Wajah Wanita di Persidangan

Kisah Nyata | Harga Wajah Wanita di Persidangan

Oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy
Muhammad bin Musa al-Qadhi berkata, " Pada suatu hari di tahun 286 H, saya menghadiri sidang Musa bin Ishaq al-Qadhi. Sidang atas kasus yang di ajukan oleh seorang tua yang menggugat menantunya karea ia ingkar janji (wan prestasi dalam bahasa hukum perdata (AH) senilai 500 dinar- setara Rp. 1 Milyar 200 juta lebih! yang ia janjikan.
Hakim mengatakan, " Datangkanlah para saksimu". Orang tua itu mengatakan, saya telah menghadirkan mereka dalam sidang ini.' Sang hakim lalu minta kepada sebagian saksi untuk melihat kepada sang isteri, lalu saksi berdiri, dan wanita (sang isteri) juga berdiri.
Mengetahui hal itu, suaminya berkata, "Apa yang hendak kalian lakukan?" Pengacaranya mengatakan, "Mereka akan melihat wajah isterimu untuk mengecek kebenarannya." Maka sang suami mengatakan , "saya bersaksi kepada hakim bahwa saya mengakui punya hutang mahar pada isteri saya asalkan dia tidak membuka wajahnya (Niqob, Cadar atau sejenis-AHSI) kepada orang lain."....

Sang isteri kemudian membalas, "saya juga bersaksi kepada hakim bahwa saya telah merelakan mahar saya dan memberikannya kepada suami saya dan dia telah lepas dari beban dunia dan akhirat," maka hakim berkomentar, "Sungguh, ini pantas dicatat dalam keindahan akhlak" ( Tarikh Bahghdad 13/53 oleh al-Khathib al-Baghdadi).

Dalam kisah ini terdapat faidah tentang kecemburuan suami terhadap isterinya, bagaimana ia tidak rela jika wajah isterinya dipandang oleh orang lain sekalpun dalam persaksian. Lantas mana kecemburuanmu wahai para suami dan pemilik anak puteri. (Di salin dari majalah Al-Furqon edisi Syawal 1433 H/2012 dengan sedikit perubahan dan editing dari Si).
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul).”

Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi shallallahu 'alayhiwasallam mencelanya. Bahkan beliau shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)