Penjelasan Kitab Arrisalatul Jami'ah Bagian 29
Senin, 26 Agustus 2013
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ
تَعَالَى قَالَ : مَنْ
عَادَ لِيْ وَلِيًّا،
فَقَدْ آذَنْتُهُ
باِلْحَرْبِ، وَمَا
تَقَرَّبَ إِليَّ
عَبْدِيْ بِشَيْءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ،
وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ
يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِيْ
يَسْمَعُ بِهِ،
وَبَصَرَهُ الَّذِيْ
يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ
الَّتِيْ يَبْطِشُ
بِهَا، وَ رِجْلَهُ
الَّتِيْ يَمْشِيْ
بِهَا، وَ لَئِنْ
سَأَلَنِيْ
لَأُعْطِيَنَّهُ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ وَمَا
تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ
أَنَا فَاعِلُهُ
تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ
الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ
الْمَوْتَ وَأَنَا
أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ (
صحيح البخاري )
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, sesungguhnya
Allah subhanahu wata'ala berfirman : "Barangsiapa yang memusuhi
kekasihKu, maka sungguh
Aku telah mengumumkan perang terhadapnya, dan tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada
kewajiban yang
Aku wajibkan, dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu
dengan perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya, maka jika Aku
mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang
ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia memukul dengannya, dan
kakinya yang ia
berjalan dengannya, dan apabila ia meminta kepadaKu pasti Aku
memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepadaKu pasti Aku
melindunginya, Aku belum
pernah ragu dari melakukan sesuatu, seperti keraguanKu terhadap jiwa
seorang mukmin yang tidak suka mati dan Aku pun tidak suka
menyakitinya". (HR.
Bukhari)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ
خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ
وَأَنْقَذَنَا مِنْ
ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ
وَالدَّيَاجِرِ
اَلْحَمْدُلِلَّهِ
الَّذِيْ هَدَانَا
بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ
مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ
بِاْلإِذْنِ وَقَدْ
نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا
مَنْ دَلَّنَا
وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ
وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
اَلْحَمْدُلِلّهِ
الَّذِي جَمَعَنَا فِي
هَذَا الْمَجْمَعِ
اْلكَرِيْمِ وَفِي
الْجَلْسَةِ
الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ
اللهُ قُلُوْبَنَا
وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ
مَحَبَّةِ اللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ
اللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَاْلعَمَلِ
بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata'ala Yang Maha Luhur,
Yang Maha memuliakan hamba-hambaNya dengan anugerah dan kenikmatan, dan
terpendam di
dasar kenikmatan itu kenikmatan yang teragung yaitu Mahabbatullah
(cinta Allah), darimana kita akan mendapatkannya? yaitu dari sang
pembawa cintaNya
sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, yang datang dengan
membawa ajaran-ajaran yang dicintai Allah, yang mana beliau shallallahu
'alaihi
wasallam bersabda bahwa Allah subhanahu wata'ala berfirman :
مَنْ عَادَ لِيْ
وَلِيًّا، فَقَدْ
آذَنْتُهُ باِلْحَرْبِ
" Barangsiapa yang memusuhi kekasihKu, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang terhadapnya"
Al Imam Ibn Hajar Al 'Asqalani di dalam Fathul Bari menjelaskan
makna kalimat Al Harb (perang), bukanlah perang dengan hambaNya karena
siapalah yang bisa
berperang dengan Allah sedangkan jasad manusia berada dalam
genggaman kasih sayang Allah yang mana jika Allah menghendaki maka Allah
Maha Mampu menceraikan
ruh dengan jasadnya, ia (seseorang) tidak mampu mengatur jasad
dirinya sendiri, dan ia tidak mampu menciptakan panca inderanya, tidak
pula mampu mengatur
bagaimana gerak gerik milyaran sel di dalam tubuhnya, akan tetapi
kesemua itu diatur oleh Allah subhnahu wata'ala maka bagaimana mungkin
Allah mengumumkan
perang dengannya?!. Namun yang dimaksud dalam hadits ini adalah
dahsyatnya kemurkaan Allah subhanahu wata'ala kepada mereka yang
memusuhi para wali Allah,
dan sebaliknya Allah akan mengumumkan cinta bagi orang yang
mencintai para waliNya, semoga kita semua menjadi para pecinta wali-wali
Allah subhanahu
wata'ala amin allahumma amin. Kemudian dalam hadits qudsi tersebut
Allah berfirman :
وَمَا تَقَرَّبَ إِليَّ
عَبْدِيْ بِشَيْءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ،
وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ
يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ
" Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai daripada kewajiban yang Aku wajibkan, dan
hambaKu senantiasa
mendekatkan diri kepadaKu dengan perbuatan sunnah hingga Aku
mencintainya"
Hamba tersebut tidak mencukupkan hanya dengan melakukan kewajiban
saja, akan tetapi ia terus mendekat kepada Allah dengan ibadah-ibadah
yang sunnah sampai
Allah subhanahu wata'ala mencintainya, hingga sampailah ia pada
cinta Allah dengan perantara perbuatan yang fardhu dan sunnah yang
dibawa oleh sayyidina
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu apa yang terjadi jika
Allah subhanahu wata'ala telah mencintai hamba tersebut?, Allah subhnahu
wata'ala
berfirman dalam hadits qudsi :
فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ،
وَبَصَرَهُ الَّذِيْ
يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ
الَّتِيْ يَبْطِشُ
بِهَا، وَ رِجْلَهُ
الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا
" Maka jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia
mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan
tangannya yang ia
memukul dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya".
Dan sangat jelas bahwa makna kalimat-kalimat tersebut harus di
ta'wil (tidak dimaknai secara zhahirnya lafaz), karena makna dari hadits
tersebut bukan
berarti Allah subhanahu wata'ala menjadi pendengaran (telinga),
penglihatan (mata), tangan atau kaki seseorang. Al Imam Ibn Hajar Al
'Asqalani menjelaskan
makna hadits qudsi ini, sebagaimana pendapat diantara para ulama'
yang dimaksud dalam hadits qudsi ini bahwa Allah subhanahu wata'ala
memberi cahaya pada
penglihatan hamba tersebut, sehingga ia melihat dengan cahaya Allah,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ
الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ
يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
" Takutlah (hati-hati) terhadap firasat seorang mukmin karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah"
Sehingga pendengarannya dapat mendengar hal yang tidak didengar oleh
orang 'awam, penglihatannya melihat apa-apa yang tidak dilihat oleh
orang awam, begitu
juga kedua tangan dan kakinya diberi kekuatan oleh Allah subhanahu
wata'ala kekuatan yang tidak diberikan kepada orang 'awam kecuali pada
para kekasihNya,
sebagaimana terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa sayyidina
Umar bin Khattab Ra ketika menyampaikan khutbah jum'at di tengah-tengah
khutbah beliau
berkata :
يَا سَارِيَة الْجَبَلَ
" Wahai Sariah (naiklah) ke atas gunung "
Kemudian beliau melanjutkan khutbah jum'at, lalu orang-orang
bertanya kepada sayyidina sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw tentang ucapan
sayyidina Umar bin
Khattab di tengah-tengah beliau menyampaikan khutbah, maka sayyidina
Ali bin Abi Thalib berkata kepada mereka untuk mengingat dan mencatat
waktu kejadian
hal tersebut. Setelah beberapa lama datanglah sayyidina Sariah
pemimpin pasukan perang yang diutus oleh sayyidina Umar bin Khattab ke
tempat jauh yang
berjarak satu bulan perjalanan dari Madinah Al Munawwarah, ia
berkata : "Pasukan muslimin datang dengan membawa kemenangan, dimana di
saat peperangan kami
berada dalam keadaan terdesak dan kami tidak tau apa yang harus kami
lakukan, ketika itu kami mendengar suara sayyidina Umar bin Khattab Ra
dan tanpa wujud
jasad beliau berkata : "Wahai Sariah naiklah ke atas gunung",
padahal di saat itu sayyidina Umar bin Khattab sedang menyampaikan
khutbah Jum'at di Madinah
Al Munawwarah, dan ternyata waktu kejadian hal tersebut tepat di
saat sayyidina Umar menyampaikan khutbah yang di pertengahan khutbah
beliau berkata :
"Wahai Sariah naiklah ke atas gunung". Maka dalam hal ini sayyidina
Umar bin Khattab yang sedang berada di Madinah dan menyampaikan khutbah,
penglihatan
beliau mampu melihat keadaan pasukan muslimin yang sedang terdesak
dalam peperangan di sebuah wilayah yang sangat jauh dari Madinah Al
Munawwarah. Sehingga
meskipun sayyidina Umar bin Khattab tidak bersama pasukan muslimin
dalam peperangan, namun beliau dapat mengontrol dan mengawasi peperangan
yang dipimpin
oleh sayyidina Sariah dengan penglihatan yang telah dipenuhi cahaya
oleh Allah subhanahu wata'ala. Demikianlah salah satu bentuk dari
pemahaman-pemahaman
yang dapat kita fahami berkaitan dengan hadits qudsi tersebut.
Dijelaskan juga oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani makna hadits qudsi
bahwa Allah subhanahu
wata'ala menjadi pendengaran seseorang maksudnya yaitu bahwa
pendengaran orang tersebut tidak lagi mendengarkan hal-hal kecuali yang
diridhai Allah
subhanahu wata'ala, penglihatannya tidak lagi melihat sesuatu
kecuali yang diridhai Allah subhanahu wata'ala. Sebagaimana salah
seorang dari kaum Anshar
ketika sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam wafat ia
berkata : " Wahai Allah butakanlah mataku hingga ia tidak lagi melihat
setelah wafatnya
sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam". Begitu juga kedua
tangan dan kaki orang tersebut tidak lagi digunakan untuk melakukan
hal-hal yang tidak
diridhai oleh Allah subhanahu wata'ala, sehingga Allah telah
melimpahkan untuk tangannya keberkahan dan kekuatan yang besar ketika ia
berdoa atau ketika ia
melawan musuh. Sebagaimana sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw ketika
dalam peperangan Khaibar beliau mampu menjebol gerbang benteng Khaibar
dan menerobos
masuk kedalamnya, yang sebelumnya tidak mampu ditembus oleh para
sahabat yang memegang panji peperangan, hingga yang terakhir sayyidina
Ali bin Abi Thalib
yang membawa panji tersebut dan beliau mampu menerobos dan menjebol
gerbang benteng Khaibar , dimana pintu gerbang tersebut melelahkan 40
orang yang
mengangkatnya lalu mereka menjadikan tameng dalam menghadapi
orang-orang Yahudi dalam perang Khaibar. Demikian keadaan tangan-tangan
para wali Allah
subhanahu wata'ala yang telah diberi kekuatan oleh Allah subhanahu
wata'ala, yang tampaknya tangan-tangan mereka lemah yang mungkin hanya
memegang Al
qur'an atau kitab, yang tampaknya hanya mampu ruku' atau sujud namun
ingatlah bahwa kekuatan Rabbul 'alamin ada pada penglihatan mereka,
pendengaran
mereka, kedua tangan dan kaki mereka, namun bukan berarti Allah
subhanahu wata'ala ada dan menjadi mata mereka, menjadi telinga mereka,
menjadi kedua
tangan dan kaki mereka sebagaimana yang tercantum secara zhahir
dalam hadits qudsi tersebut. Akan tetapi untuk memaknai hadits qudsi
tersebut haruslah
dengan cara dita'wil, yaitu tidak difahami secara zhahir lafazhnya.
Lalu dalam hadits qudsi ini Allah subhanahu wata'ala berfirman :
وَ لَئِنْ سَأَلَنِيْ
لَأُعْطِيَنَّهُ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ
لَأُعِيْذَنَّهُ وَمَا
تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ
أَنَا فَاعِلُهُ
تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ
الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ
الْمَوْتَ وَأَنَا
أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
" Dan apabila ia meminta kepadaKu pasti Aku memberinya, dan jika ia
meminta perlindungan kepadaKu pasti Aku melindunginya, Aku belum pernah
ragu dari
melakukan sesuatu, seperti keraguanKu terhadap jiwa seorang mukmin
yang tidak suka mati dan Aku pun tidak suka menyakitinya"
Demikian kecintaan Allah subhanahu wata'ala kepada orang-orang yang
mencintai Allah subhanahu wata'ala dengan menjalankan hal-hal yang
fardhu dan yang
sunnah untuk mengikuti tuntunan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam semampunya, maka semoga kita semua disampaikan pada samudera
mahabbatullah dan
wafat dalam keadaan bersama para pencinta Allah sehingga kelak di
hari kiamat kita dibangkitkan bersama orang-orang yang kita cintai dan
pemimpin
orang-orang yang kita mencintai Allah, sayyidina Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka hadits qudsi ini secara tegas menjelaskan bahwa Allah subhanahu
wata'ala Maha Ada. Dan jika muncul pertanyaan "ada dimana?", sungguh
Allah subhanahu
wata'ala tidak membutuhkan kata "dimana" karena kata "dimana" adalah
ciptaan Allah dan kata "dimana" menuntut jawaban suatu tempat,
sedangkan tempat belum
ada sebelum diciptakan oleh Allah subhanahu wata'ala. Jika
orang-orang yang mempunyai pemahaman yang bathil mengatakan bahwa Allah
berada di 'arsy padahal
'arsy adalah ciptaan, maka dimana Allah sebelum Allah menciptakan
'arsy?!. Dalam hal ini Al Imam Malik Ra menjelaskan dimana ketika
seseorang bertanya
kepada beliau tentang penjelasan ayat "Ar-Rahman 'Ala al-arsy
Istawaa", bagaimanakah Istawa Allah?, Imam Malik menjawab : "Majhuul,
Ma'quul, Imaan bihi
wajib, wa su-aal 'anhu bid'ah (tidak diketahui maknanya, dan hal itu
ma'quul (masuk akal), percaya akan hal itu adalah wajib, bertanya
tentang ini adalah
Bid'ah , dan kulihat engkau ini orang ahli bid'ah, keluarkan dia!".
Maka jelas bagi kita bahwa orang yang mempertanyakan dan
mempermasalahkan hal ini
adalah ahli bid'ah, sebagaimana para kelompok yang banyak muncul
pada zaman ini.
Adapun para ulama' dalam memaknai seperti ayat-ayat diatas
(ayat-ayat mutasyabihat) terdapat dua madzhab yaitu madzhab ta'wil dan
madzhab tafwidh ma'a at
tanziih. Makna tafwidh ma'a at tanziih adalah mengambil (meyakini)
zhahir lafazh dan menyerahkan maknanya kepada Allah disertai dengan
mensucikan Allah
dari sifat-sifat yang mneyerupai makhlukNya) , bukan seperti yang
diperbuat oleh orang-orang yang banyak muncul di zaman sekarang ini yang
membid'ahkan
acara maulid, ziarah kubur dan lainnya dimana mereka dalam meyakini
ayat-ayat mutasyabihat dengan tafwidh (hanya mengambil zhahirnya lafazh
saja) namun
tanpa tanziih, sehingga mereka menyerupakan Allah dengan makhlukNya.
Madzhab tafwidh ma'a tanziih inilah yang dipegang oleh Al Imam Abu
Hanifah dan Al Imam
Ahmadn bin Hambal dan sebagian pengikutnya, sebagaimana ucapan imam
Malik kepada seoarang yang menanyakan istiwaa Allah subhanahu wata'ala.
Adapun madzhab
ta'wil adalah menafsirkan makna kalimat kepada makna kalimat yang
layak bagi Allah subhanahu wata'ala dan sesuai dengan keagungan Allah
subhanahu wata'ala,
karena cara ini menjelaskan dan menghilangkan keraguan kaum awam,
dan madzhab inilah yang dipegang oleh Al Imam As Syafii, Al Imam Bukhari
dan para imam
ahlusunnah waljama'ah. Sebagaimana terdapat dalam Al qur'an " Ar
Rahman'Alaa Al 'Arsy istawaa", mereka yang mempunyai keyakinan sesat
meyakini bahwa Allah
berada atau bersemayam d atas 'arsy. Sedangkan makna kata "Istawaa"
sebagaimana dijelaskan oleh guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bin
Hafizh menukil
ucapan Al Imam Ghazali dalam kitabnya, bahwa kata "Istawaa"
mempunyai tiga makna, yang pertama adalah melintasi/melewati, makna
kedua adalah diam atau
tidak bergerak, dan makna ketiga adalah berada di tengah-tengah
namun ketiga makna tersebut tidak layak bagi Allah subhanahu wata'ala,
sebab bertentangan
dengan sebagian ayat-ayat Al qur'an dan hadits-hadist yang lain.
Jika dikatakan bahwa Allah berdiam (bersemayam) di 'arsy maka
bertentangan dengan hadits
qudsi yang menyebutkan bahwa Allah subhanahu wata'ala turun ke
langit yang terendah di saat sepertiga malam terakhir, maka zhahirnya
hadits ini menunjukkan
bahwa Allah tetap berada di langit yang terendah dan tidak pernah
kembali ke 'arsy sebab waktu sepertiga malam terakhir tidak pernah
hilang, namun terus
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Begitu juga
keyakinan bahwa Allah subhanahu wata'ala bersemayam (menetap) di 'arsy
juga bertentangan dengan
firman Allah QS. Al Fath : 10 :
إِنَّ الَّذِينَ
يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا
يُبَايِعُونَ اللَّهَ
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ ( الفتح : 10 )
"Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas
tangan mereka". ( QS. AL
Fath : 10 )
Dan ketika bai'at pun tidak teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari
langit yang ikut berbaiat. Begitu juga hadits qudsi yang kita baca
tadi, makna hadits
qudsi diatas tentunya menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan,
dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat kepada Allah akan
dilimpahi cahaya
keagungan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan
Allah, dan maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan
dan kakinya.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala :
فَلَمَّا أَتَاهَا
نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ
الْوَادِ الْأَيْمَنِ
فِي الْبُقْعَةِ
الْمُبَارَكَةِ مِنَ
الشَّجَرَةِ أَنْ يَا
مُوسَى إِنِّي أَنَا
اللَّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ ( القصص : 30 )
"Maka ketika Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari
(arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu : "Wahai
Musa, sesungguhnya
Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam". ( QS. Al Qashash )
Dalam ayat tersebut bukan berarti pohon itu adalah Allah,
sebagaimana keyakinan sebagian orang-orang yang menyembah pohon karena
mereka meyakini bahwa
pohon adalah Tuhan.
Dijelaskan oleh guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bin Hafizh bahwa
Allah subhanahu wata'ala Maha Dekat dengan tanpa sentuhan dan Jauh tanpa
jarak (bagi
orang-orang yang berpaling dari cinta Allah), dimana jauhnya Allah
tidak dapat disamakan dengan makhluk begitu juga kedekatan Allah tidak
bisa disamakan
dengan dekatnya makhluk, dekatnya makhluk dengan sentuhan sedangkan
dekatnya Allah subhanahu wata'ala lebih dari sentuhan.
Demikian sebagian dari penjelasan kitab Ar Risalah Al Jaamia'ah,
dalam makna ucapan Al Imam Ahmad bin Zen Al 'Alawi Al Habsyi :
وَأَصْلُ اْلإِيْمَانِ
أَنْ تَعْتَقِدَ أَنَّ
اللهَ تَعَالَى
مَوْجُوْدٌ وَأَنَّهُ
تَعَالَى وَاحِدٌ
"
Penjelasannya berikutnya insyaallah kita lanjutkan di majelis yang
akan datang. Dan sebelum kita mengakhiri majelis ini dengan doa dan
munajat, haruslah
kita fahami bahwa Allah subhanahu wata'ala Maha Dekat lebih dari
sentuhan, dan jauh tanpa jarak yaitu untuk orang-orang yang zhalim,
orang-orang yang
berpaling dari cinta Allah subhanahu wata'ala dan menuju pintu
kemurkaan Allah subhanahu wata'ala, lebih memilih hal-hal yang dibenci
Allah daripada
hal-hal yang dicintai Allah subhanahu wata'ala, serta tidak berusaha
untuk menghindarinya bahkan ia senang dengan perbuatan-perbuatan itu.
Maka semoga
Allah subhanahu wata'ala menyelamatkan kita semua dari segala macam
perbuatan hina, amin allahumma amin.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا ...
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ
الله.. ياَرَحْمَن
يَارَحِيْم ...لاَإلهَ
إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ
اللهُ اْلعَظِيْمُ
الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ
إِلَّا الله رَبُّ
اْلعَرْشِ
اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ
إلَّا اللهُ رَبُّ
السَّموَاتِ وَرَبُّ
الْأَرْضِ وَرَبُّ
اْلعَرْشِ
اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ
حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا
وَعَلَيْهَا نَمُوتُ
وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ
إِنْ شَاءَ اللهُ
تَعَالَى مِنَ
اْلأمِنِيْنَ.
Hadirin yang dimuliakan Allah
Doa-doa terluhur untuk para guru kita yang hadir pada malam hari
ini, juga para sesepuh dan para tokoh masyarakat, dan aparat keamanan
dari Polsek Pancoran
yang selalu membantu kelancaran lalu lintas ketika majelis ini
berlangsung, sebagaimana kita tidak mau untuk menutup jalan-jalan raya
kecuali jalan-jalan
perkampungan jika disetujui oleh masyarakat setempat dan mendapat
izin dari kepolisian setempat. Dan kita doakan untuk semua saudara kita
yang sedang sakit
semoga segera diberi kesembuhan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Semakin dekat waktu kedatangan guru mulia kita, yang insyaallah pada
bulan November 2013 meskipun masih 2 bulan lagi namun sudah terasa
sudah sangat dekat,
sebagaimana kapal besar yang akan merapat ke daratan maka
gelombangnya telah sampai sebelum kapal itu sampai. Gelombang semangat
bangkit di dalam hati kita
lebih besar dengan dekatnya kehadiran guru mulia kita, orang yang
suci pendengarannya , penglihatannya, ucapannya, tangan dan kakinya yang
dipenuhi dengan
cahaya keagungan Allah subhanahu wata'ala, dan semoga kita semua
termasuk kepada golongan orang-orang yang mencintai para kekasih Allah
dan semoga
acara-acara kita yang akan datang berlangsung dengan sukses, dan
bagi jamaah yang dapat membantu kesuksesan acara-acara tersebut maka
bantulah semampunya,
karena harta tidak akan pernah berkurang dengan dikeluarkan darinya
shadaqah atau infak.
Selanjutnya kita bersalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yatafaddhal masykura.
|
0 komentar:
Posting Komentar