Sidang Isbat Menurut Dewan Mufti Darul Musthofa Pimp. Guru Mulia Alhabib Umar bin Hafidh, Tarim Hadromaut, Yaman
بسم الله الرحمن الرحيم
Dewan Fatwa Dar Al Musthafa, semoga Allah senantiasa melindungi mereka.
Assalamu’alaikum wr wb..
Majelis Ulama’ di wilayah New South Wales Australia, dalam menetapkan
awal dan akhir bulan-bulan Qamariyah telah memutuskan untuk berpegang
pada ru’yah hilal, daripada menggunakan hisab (perhitungan astronomi),
karena untuk mengikuti dalil-dalil dalam syariat Islam dan menjalankan
fatwa-fatwa beberapa madzhab yang mu’tamad, serta untuk menghidupkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun sayangnya, kelompok mayoritas arab di wilayah ini sejak dahulu
mereka mengikuti jam’iyyah islamiyyah (perkumpulan islam) tertentu yang
berpegang pada hisab dan mengabaikan ru’yah, maka terjadilah hal yang
tidak diinginkan sehingga anggota majelis dianggap telah memecah belah
kaum muslimin dan menyebarkan fitnah diantara individu dalam satu
keluarga, dimana sebagian mereka ada yang berpuasa dan yang lain tidak.
Ketika anggota majelis menjelaskan dan memaparkan dalil-dalil syar’i
yang menjadi landasan atas keputusan mereka, dan juga memaparkan
fatwa-fatwa ulama’ di masa lalu dan di masa sekarang yang menolak untuk
berpegang pada hisab dan memilih berpegang pada ru’yah syar’iyyah, di
saat itu beberapa pelajar Dar Al Musthafa membantah mereka dengan
mengatakan bahwa pembesar ulama’ di Tarim berfatwa tentang bolehnya
berpegang pada perhitungan falak (hisab) dalam penetapan bulan qamariah,
yang mana hal itu berlandaskan atas perkataan mu’tamad Al Imam
Syamsuddin Ar Ramli dalam madzhab Syafii, akan kewajiban seorang ahli
astronomi dan orang yang mempercayainya untuk mengamalkan hasil
hisabnya. Sebagian anggota majelis telah berusaha untuk menjelaskan
kepada mereka, bahwa perkataan Al Imam Ar Ramli adalah pengecualian dari
kaidah umum yang dikhususkan untuk Haasib (Ahli astronomi) dan kelompok
yang berada disekitarnya serta tidak boleh disebarkan ke halayak umum,
sehingga sampai mengabaikan ru’yah syar’iyyah sebagaimana yang
diinginkan oleh para penyelenggara hisab di zaman sekarang ini, namun
demikian mereka bersikeras dan tetap berpegang teguh dengan perkataan
mereka, sehingga hal ini menimbulkan kerancuan diantara orang-orang
awam.
Maka dari hal tersebut, kami anggota majelis ingin mengajukan beberapa
pertanyaan kepada divisi fatwa Dar Al Musthafa, kami berharap semoga
Allah subhanahu wata’ala membalasnya dengan kebaikan, berikut pertanyaan
kami :
1.Apakah dalam pendapat mu’tamad (yang kuat) madzhab syafii boleh berpegang pada hisab (perhitungan falak) ?
2.Apakah fatwa Al Imam Ar Ramli yang hanya dikhususkan untuk ahli
astronomi dan orang yang mempercayainya boleh disebarkan ke halayak
umum, sehingga siapa saja boleh mengamalkannya tanpa mengingkarinya,
atau fatwa tersebut adalah pengecualian dari kaidah umum yang
dikhususkan serta tidak boleh disebarkan dan tidak juga diamalkan dalam
keadaan kita di zaman sekarang ini, mengingat tidak seorang pun di zaman
sekarang ini yang menyangkal keakuratan perhitungan astronomi?
3.Apakah dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para pembesar ulama’ di Dar Al Musthafa dan ulama’ di ribat Tarim?
Kami memohon jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Umar Abdullah Al Banna ( Anggota Majelis Ulama’ di Australia)
Jawaban :
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين وبعد،
Telah sampai kepada divisi fatwa Dar Al Musthafa pertanyaan dari saudara
Umar bin Abdullah Al Banna, anggota majelis ulama’ di Australia,
tentang diperbolehkannya berpegang terhadap perhitungan falak
(astronomi) dalam penetapan bulan qamariyah, dimana ada 3 pertanyaan
akan hal tersebut :
1.Apakah dalam pendapat mu’tamad (yang kuat) madzhab syafii boleh berpegang pada hisab (perhitungan falak) ?
2.Apakah fatwa Al Imam Ar Ramli yang hanya dikhususkan untuk ahli
astronomi dan orang yang mempercayainya boleh disebarkan ke halayak
umum, sehingga siapa saja boleh mengamalkannya tanpa mengingkarinya,
atau fatwa tersebut adalah pengecualian dari kaidah umum yang
dikhususkan serta tidak boleh disebarkan dan tidak juga diamalkan dalam
keadaan kita di zaman sekarang ini, mengingat tidak seorang pun di zaman
sekarang ini yang menyangkal keakuratan perhitungan astronomi?
3.Apakah dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para pembesar ulama’ di Dar Al Musthafa dan ulama’ di ribat Tarim?
Berikut adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan Allah lebih mengetahui yang benar.
Penetapan bulan qamariyah dengan perhitungan falak terdapat dua keadaan :
1.Hisaab (perhitungan astronomi) menunjukkan keberadaan hilal setelah terbenamnya matahari.
2.Hisaab (perhitungan astronomi) menunjukkan tidak memungkinkannya ru’yah (melihat hilal).
Jawaban dari pertanyaan yang pertama, dalam keadaan yang pertama:
Pertama : Allah subhanahu wata’ala menjadikan ibadah kita terikat dengan
waktu-waktu ibadah dengan adanya batas awal dan akhir dari ibadah
tersebut, agar kita patuh dan tunduk sepenuhnya kepada Allah subhanahu
wata’ala dan tidak mengikuti hawa nafsu kita, sebagaimana telah
ditetapkan bagi kita waktu2 shalat, puasa dan haji. Oleh karena itu
secara umum jumhur ulama’ sepakat untuk tidak menggunakan hisab dalam
penetapan bulan qamariah, dan karena yang merupakan khususiah
(ciri-ciri) ummat ini dalam penetapan bulan qamariah adalah yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan
cara ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (penyempurnaan bulan menjadi 30
hari) , sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil yang jelas tentang
penetapan bulan qamariah dengan ru’yah atau ikmaal. Dan para ulama’
menjadikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mujmal
(secara global) :
فَاقْدِرُوْا لَهُ
“ Maka tentukanlah untuknya (bulan)”. Memiliki makna hadits berikut:
فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
“ Maka genapkanlah hitungannya (bulan) menjadi 30 hari”.
Bahkan disebutkan juga dalam Shahih Muslim :
عن ابن عمر رضي الله عنهما، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان،
فضرب بيديه فقال: «الشهر هكذا، وهكذا، وهكذا - ثم عقد إبهامه في الثالثة -
فصوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين»
“Dari Ibn Umar Ra, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebut bulan Ramadhan, kemudian mencontohkan dengan tangan beliau dan
berkata : “bulan itu seperti ini, seperti ini, dan seperti ini _kemudian
beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya_, maka berpuasalah
kalian di saat telah melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian disaat
telah melihatnya (hilal bulan Syawal), dan jika hilal terhalangi
(mendung) dari kalian, maka tentukanlah untuk bulan tersebut tiga
puluh”.
Kedua : Penetapan bulan qamariah dengan hisab adalah merupakan ta’thil
(pengabaian) terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebaliknya, maka telah jelaslah bahwa
hal tersebut menyalahi dalil-dalil yang jelas dan menyalahi pengamalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap dalil-dalil tersebut,
yang mana hal tersebut juga ditetapkan dan diamalkan oleh jumhur ulama’
dari ahli fiqh dan para hakim sehingga hal tersebut menjadi ijma’
ulama’, sebagaimana yang akan disebutkan berikut.
Adapun jawaban dari pertanyaan yang kedua dan ketiga :
Tidak diperbolehkan menyebarkan fatwa Al Imam Syihabuddin Ar Ramli,
dimana menurut Al Imam Ar Ramli dan lainnya bahwa fatwa tersebut hanya
dikhususkan untuk ahli falak (astronom). Dan hal itu telah dipaparkan
secara jelas oleh putra beliau, Al Imam Jamaluddin Ar Ramli dalam kitab
Nihaayah Al Muhtaaj syarh Al Minhaaj ( 150/ 3 ) : “ Iya, diperbolehkan
baginya (ahli astronomi) untuk mengamalkan hisabnya dan hal itu cukup
baginya sebagai sesuatu yang mewajibkannya menurut pendapat yang
mu’tamad, meskipun hal tersebut di dalam kitab Al Majmuu belum cukup
sebagai sesuatu yang mewajibkannya, dan kiasan perkataan mereka bahwa
sesungguhnya “Zhan” (perkiraan) mewajibkan suatu perbuatan, yaitu wajib
baginya berpuasa dan wajib pula bagi orang yang diberinya kabar dan
orang tersebut lebih cenderung mempercayai ucapannya, dan juga hal itu
diperbolehkan setelah adanya larangan, dan yang demikian tidak menyalahi
sesuatu telah disebut sebelumnya karena perkataan dalam hal ini adalah
secara umum”.
Dari perkataan tersebut dapat diketahui bahwa fatwa Al Imam Ar Ramli
terbatas untuk ahli falak (astronom) dan orang yang mempercayai
ucapannya. Adapun Al Imam Ar Ramli yang mengkhusukan perkataan
“diwajibkan” bagi ahli falak, hal tersebut menyalahi pendapat mu’tamad
para imam madzhab Syafii, bahkan di kalangan jumhur ulama’ bahwa sesuatu
yang telah menjadi ketetapan dan diamalkan mereka adalah tidak
diperbolehkan bagi ahli falak atau pun yang lainnya untuk
mengamalkannya, apalagi jika hal itu “diwajibkan” bagi ahli falak, dan
juga tidak boleh menyebarkan fatwa tersebut atau menjadikannya sebagai
hukum.
Al Imam Ibn Hajar berkata dalam kitab Tuhfah (145/ 10) : “Al Imam
Alqurafi dan Ibn Shalah menukil sebuah ijma’ bahwa tidak diperbolehkan
mengambil hukum yang bertentangan dengan perkataan yang rajih (lebih
kuat) dalam madzhab”. Dan Al Imam As Subki juga memaparkan secara jelas
dan panjang lebar dalam beberapa fatwanya tentang tidak diperbolehkannya
hal tersebut, dan beliau menganggap bahwa hal tersebut adalah penetapan
hukum yang tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah
subhanahu wata’ala; karena Allah mewajibkan para ahli ijtihad untuk
mengambil sesuatu (pendapat) yang lebih kuat dan mewajibkan kepada
selain mereka untuk taqlid (mengikuti) mereka dalam perkara yang telah
diwajibkan kepada mereka para ahli ijtihad, dari ucapan ini diketahui
bahwa maksud dari “tidak diperbolehkan” adalah ketidakrelevanan hal
tersebut sehingga harus dibatalkan, sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab Ashl Ar Raudhah, Ibn Shalah dan para pengikutnya berkata : “Jika
seorang ahli tarjih menjadikan sebuah pendapat/perkataan menjadi raajih
maka hukum tersebut diterapkan, meskipun pendapat tersebut marjuh dalam
madzhabnya, namun haruslah dengan dalil yang baik dan ia tidak
menetapkan hukum secara syadz/ salah”.
Al Imam Al Qurafi berkata dalam kitab Al Furuuq (178/2) : “Perbedaan
yang ke 102 antara kaidah bahwa penetapan waktu shalat boleh dengan
hisab (ilmu falak) dan alat-alat atau segala sesuatu yang menunjukkan
pada hal tersebut (waktu), dengan kaidah bahwa penetapan hilal di
bulan-bulan Ramadhan tidak boleh dengan hisab (perhitungan astronom);
maka dalam hal menurut kami dan menurut ulama’ madzhab syafii
-rahimahumullah- terdapat dua pendapat, adapun pendapat yang masyhur
dalam kedua madzhab bahwa metode hisab tidaklah mu’tabar (tidak
terpercaya) jika menurut ilmu falak perputaran planet menunjukkan
munculnya hilal dari cahaya maka tidak diwajibkan puasa, dan kelompok
ulama’ dari sahabat kami berkata : “Jika seorang imam melakukan hisab
kemudian ia menetapkan adanya hilal dengan hisab tersebut maka ia tidak
boleh diikuti, dikarenakan adanya ijma’ ulama’ salaf yang bertentangan
dengan hal tersebut, meskipun perhitungan hilal, kusuf dan khusuf
(gerhana bulan dan matahari) adalah perhitungan yang pasti, dan Allah
subhanahu wata’ala telah menjadikan pergerakan alam semesta dan
perpindahan planet berada dalam satu aturan sepanjang zaman, sesuai
dengan ketentuan Allah subhanahu wata’ala”.
Maka bukan lagi suatu hal yang tersembunyi bahwa madzhab yang berlaku
di wilayah Hadramaut di masa lalu dan masa sekarang adalah berpegang
pada pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Al Imam As Syafii dimana para
ulama’ ahli fiqh dan para hakim berada dalam madzhab ini, dengan ini
jelaslah bahwa ulama’ di Tarim dan Dar Al Musthafa dan lainnya,
mempunyai pendapat yang sama terhadap permasalahan tersebut.
Keadaan yang kedua : Hisab (astronomi) menunjukkan tidak memungkinkannya ru’yah hilal.
Jika perhitungan astronomi menunjukkan tidak adanya kemungkinan untuk
ru’yah hilal, maka ulama’ Hadramaut mengikuti pendapat Al Imam Ibn Hajar
yang menanggapi pendapat Al Imam As Subki yang menolak syahadah
(kesaksian) dan menganggap syahadah sebagai suatu kesalahan atau
kebohongan dalam keadaan mustahil untuk ru’yah menurut ahli astronomi,
dan jumlah yang mengabarkan hal tersebut mencapai jumlah tawatur,
sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Ibn Hajar dalam kitab Tuhfah (
328 / 3 ) : “ Terjadi kebingungan bagi mereka ( Al Imam Ar Ramli dan
orang yang menyetujuinya) jika hisab mengatakan adanya kebohongan orang
yang bersaksi melihat hilal, dan jika para ahli astronomi bersepakat
bahwa perhitungan astronomi tersebut pasti/akurat dan para ahli
astronomi yang mengabarkan hal itu mencapai jumlah tawatur, maka
kesaksian melihat hilal itu ditolak dan jika tidak demikian maka
kesaksian tidak tertolak, dan ungkapan ini lebih utama daripada ucapan
Al Imam As Subki yang secara mutlak menolak kesaksiaan ru’yah hilal jika
perhitungan astronomi menunjukkan ketidakmungkinan untuk melihat
hilal”.
Dikeluarkan oleh Divisi Fatwa Dar Al Musthafa Tarim
Tarim, 19 Shafar 1433 H
|
|
|
|
|
|
|
0 komentar:
Posting Komentar