Penjelasan Kitab Arrisalatul Jami'ah Bagian 20
Makna Kalimat قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلُّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Senin, 20 Mei 2013
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اغْبَرَّتْ
قَدَمَاهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ (صحيح
البخاري)
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa
yang kedua kakinya berdebu (karena melangkah) di jalan (yang diridhai)
Allah subhanahu wata’ala maka Allah mengharamkannya dari api neraka”
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ
خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ
وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ
اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا
لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا
الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي
الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ
بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur,
Yang Maha memberi dan mengambil kembali, Yang Maha melimpahkan dan
mengangkat sesuatu dari hambaNya, Yang Maha menjadikan alam kehidupan
dunia sebagai alat untuk menuju kebahagiaan di hari kebangkitan, yang
berpijar dengan cahaya hamba-hamba Ilahi yang merindukan Allah subhanahu
wata’ala. Hari itu akan terang benderang dengan wajah hamba-hamba yang
mengikuti sunnah sang pembawa cahaya teragung dari ciptaan Allah
subhanahu wata’ala, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
pembawa kasih sayang Ilahi, samudera kelembutan Rabbul ‘alamin yang
menuntun hamba menuju kemuliaan dan kelembutanNya di dunia dan akhirat,
yang dijuluki sebagai hamba yang banyak dipuji atau yang terpuji,
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda :
مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
“Barangsiapa yang kedua kakinya berdebu (karena melangkah) di jalan Allah, maka Allah mengharamkannya dari api neraka”.
Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani Ar di dalam kitab Fath Al Bari serta
beberapa ulama’ ahli hadits lainnya mengatakan bahwa maksud dari hadits
tersebut bukanlah hanya kedua kaki yang diselamatkan dari api neraka,
namun seluruh jasad orang tersebut akan diselamatkan dari api neraka
karena kedua kaki bersatu dengan tubuh, sehingga orang yang sering
melangkahkan kakinya untuk menghadiri majelis ta’lim atau majelis dzikir
dan shalawat, atau melangkahkannya pada jalan yang diridhai Allah
subhanahu wata’ala, maka ia akan diselamatkan dari api neraka.
Sebagaimana kita melangkah menuju ke tempat ini, dimana di tempat ini
kita berkumpul dan saling menasihati dalam kebaikan serta mempelajari
ilmu-ilmu agama, sehingga semakin seksama seseorang mendengarkan
ilmu-ilmu yang disampaikan di tempat ini, maka akan semakin luas pula
pemahaman yang ia dapati dalam berbagai macam ilmu, semoga ilmu kita
semua diluaskan oleh Allah subhanahu wata’ala zhahir dan bathin amin
allahumma amin.
Disebutkan juga dalam riwayat Shahih Muslim bahwa Allah subhanahu
wata’ala mengharamkan api neraka untuk memakan anggota sujud, dimana
dalama hal itu bukan hanya anggota sujud yang akan diselamtkan dari api
neraka, akan tetapi seluruh tubuhnya diharamkan dari api neraka karena
anggota sujud tersebut menempel dengan tubuh sehingga anggota tubuh yang
lainnya juga terbawa olehnya dan terselamatkan dari api neraka,
demikian rahasia sirr al ma’iyyah (rahasia kebersamaan). Maka terlebih
lagi sanubari yang senantiasa mencintai dan merindukan sayyidina
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda :
الَْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“ Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya (di hari kiamat)”.
Sehingga dengan keberadaan majelis ini kita berpadu untuk
membangkitkan kembali generasi muda para pecinta sayyidina Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam yang berjiwa luhur dan memiliki perasaan
damai dan senantiasa menginginkan ketenangan dan kesejahteraan untuk
dirinya, keluarganya, kerabatnya, wilayahnya, bangsa dan negaranya serta
seluruh penjuru di barat dan timur. Jika hal ini telah terbit, maka
sebutir keinginan dalam jiwa seseorang untuk membawa kedamaian untuk
semua makhluk Allah subhnahu wata’ala, hal itu berarti ia telah sedikit
mewarisi kemuliaan rahasia sang matahari pembawa rahmat Allah bagi
segenap alam semesta, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Yang mana tiada sesuatu diinginkan dan diharapkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali semua hamba Allah subhanahu
wata’ala beriman, tiadalah yang diinginkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi kecuali semua hamba Allah tidak berbuat dosa dan bermaksiat
kepada Allah subhanahu wata’ala. Namun demikian beliau shallallahu
‘alaihi wasallam tentunya mengerti dan memahami qadha’ dan qadar Allah
subhanahu wata’ala, akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan tawadhu’ dan kesabaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terus
menolong dan mendukung ummatnya untuk selamat dari api neraka dan
kemurkaan Allah subhanahu wata’ala baik di dunia, di barzakh dan di
akhirat.
Adapun salah satu dari pecahan cahaya kelembutan sang nabi adalah
hadits yang tadi telah kita baca. Dimana hadits tersebut banyak didukung
oleh hadits-hadits lainnya, baik dalam riwayat Shahih Al Bukhari,
Shahih Muslim atau yang lainnya. Maka setiap langkah kaki menuju
keluhuran atau kemuliaan, sungguh hal itu tidak akan disia-siakan oleh
Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana sebuah kisah yang terdapat dalam
riwayat Shahih Muslim dimana ketika dua orang akan datang berhijrah
kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, di tengah perjalana
satu dari keduanya sedang mengalami sakit yang sangat parah dan tidak
mampu untuk menahannya, sehingga ia pun membunuh dirinya dengan cara
memotong urat nadinya, kemudian ia wafat dan dimakamkan. Lalu seorang
yang lainnya melanjutkan perjalanannya menuju Madinah Al Munawwarah. Dan
sesampainya di Madinah ia mengatakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa ia datang bersama temannya yang mana di tengah
perjalanan ia menderita sakit yang sangat parah sehingga ia pun membunuh
dirinya karena tidak lagi sanggup melanjutkan perjalanan. Kemudian
suatu waktu ia melihat temannya di dalam mimpi, dan ia menanyakan
keadaannya apakah Allah mengampuninya, maka ia berkata : “ Allah
mengampuni dosaku karena aku berhijrah kepada nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, kecuali tanganku ini yang tidak diampuni oleh Allah
karena ia telah aku gunakan untuk memotong nadiku”, maka setelah
mendengar hal tersebut kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berdoa : “ Wahai Allah ampunilah (juga) kedua tanganya”
Demikian mulia perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pada ummatnya yang telah berbuat dosa dengan cara membunuh dirinya,
kemudian ia menuju hijrah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
untuk mencapai kedekatan dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan
duduk bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Serta bagaimana
perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada ummat beliau yang
hadir di majelis ini, yang keluar dari rumah mereka untuk berdzikir dan
bershalawat bersama, serta mempelajari tuntunan-tuntunan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentunya pembelaan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam kepada mereka akan melebihi pembelaan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang yang telah melakukan bunuh
diri itu. Dalam hal bunuh diri, maka semua madzhab mengatakan bahwa
orang yang bunuh diri hukumnya murtad, kecuali dalam madzhab Imam Syafii
yang mengatakan bahwa orang yang bunuh diri memang dihukumi murtad,
namun ia tetap dimandikan, dishalati dan dimakamkan di pemakaman
muslimin, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat diatas bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan orang yang telah
melakukan bunuh diri. Maka fahamilah kelembutan dan kasih sayang nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummat-ummat beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun hadits lain yang berkaitan dengan hadits yang telah kita baca
serta berkaitan juga dengan pembahasan kita dalam kitab Ar Risaalah Al
Jaami’ah, dan di malam ini kita telah sampai pada kalimat :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلُّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Mencari / menuntut ilmu wajib atas setiap muslim dan muslimah”
Dijelaskan dalam kitab Fawaaid Tsamiinah bahwa kalimat وَمُسْلِمَةٍ adalah tambahan, karena dalam riwayat yang shahih hanya disebutkan:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلُّ مُسْلِمٍ
“ Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim” Dimana kalimat مُسْلِمٍ (lelaki yang beragama Islam) mencakup makna lelaki dan wanita yang beragama Islam. Adapun kalimat طَلَبٌ memiliki makna سَعْيٌ (berusaha atau mencari), sehingga dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan : تَعَلُّمُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ
“ Mempelajari ilmu pengetahuan hukumnya wajib” Maka dalam hal ini
seseorang terlebih dahulu harus mencari ilmu, yang kemudian memilih
diantara ilmu-ilmu yang paling dan lebih ia butuhkan.
Sebagai contoh seseorang yang telah mencari ilmu yang kemudian ia
menemukan dua ilmu yaitu ilmu dunia dan ilmu akhirat, maka tentunya ia
telah mengetahui bahwa ilmu akhirat jauh lebih penting daripada ilmu
keduniaan, namun saat ini ia masih hidup di dunia maka tentunya ia juga
memerlukan ilmu pengetahuan tentang dunia, sehingga ia akan mempelajari
keduanya serta membagi waktunya untuk mempelajari kedua ilmu tersebut.
Kemudian ia mencari lagi ilmu yang lainnya, sebagaimana ilmu pengetahuan
sangatlah luas, maka ia juga harus menyesuaikan hal tersebut dengan
keadaannya serta memilih dengan cermat antara ilmu-ilmu yang bermanfaat
baginya yang sesuai dengan keadaanya atau sebaliknya. Dan diantara
hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mencari ilmu diantaranya adalah
apakah ia seorang yang sibuk bekerja, atau sibuk membantu kedua orang
tua, apakah ia adalah orang yang sudah sangat tua dan lemah atu orang
yang masih sangat muda dan kuat. Maka jika ia dapati bahwa dirinya dan
keadaannya mampu, seperti usia yang masih muda dan kondisinya kuat, maka
selayaknyalah ia memulai mempelajari ilmu dari awal seperti menghafal
Al qur’an Al Karim, kemudian menghafal hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan lainnya. Namun jika seseorang sudah
terbilang tua dan telah merasa lemah dalam menghafal, maka dalam kondisi
seperti ini sebaiknya ia mencari ilmu yang paling bermanfaat bagi
dirinya dan sedikit ilmu yang bermanfaat untuknya hal itu telah cukup
baginya, seperti mengetahui dan memahami akan hal-hal yang wajib bagi
dirinya, yaitu mempunyai ilmu tentang tata cara melakukan ibadah yang
benar seperti shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan lainnya, namun bukan
berarti meremehkan ilmu-ilmu yang lainnya .
Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang ulama’ beliau mengatakan
bahwa jika seseorang ingin mempelajari ilmu untuk dirinya, maka ilmu
yang sedikit telah cukup untuknya, namun jika ia ingin mengajarkan
kepada orang lain maka sungguh kebutuhan orang-orang sangat banyak,
sehingga tidaklah cukup hanya dengan sedikit ilmu. Disebutkan dalam
riwayat Shahih Al Bukhari bahwa seseorang datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta penjelasan tentang Islam kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berkata : “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kemudian
engkau melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat dan berpuasa serta
menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melakukannya”, lantas orang itu
berkata : “Wahai Rasulullah, jika aku melakukan hal itu semua cukupkah
hal tersebut memasukkan aku ke surga?”, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab : “Ya, betul”. Namun yang menjadi permasalahan
apakah perbuatan-perbuatan tersebut telah dilakukan dengan sempurna,
sudah khusyu’ kah kita dalam melakukan shalat, sudah benarkan tata cara
kita melakukan shalat?, jika tidak maka kita umat Islam seharusnyalah
untuk mencari atau memperbuat ibadah-ibadah yang lainnya untuk
menjadikan ibadah-ibadah tersebut sempurna.
Dalam hal shalat kekhusyu’an sangat diperlukan, dan kethuilah bahwa
seseorang yang berusaha untuk mencapai pada kekhusyu’an dalam shalat
maka hal itu merupakan bagian dari khusyu’ dalam shalat, sebagaimana
berjalan menuju majelis ta’lim maka hal itu merupakan bagian daripada
hadir di majelis ta’alim. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat
tentang sesorang yang telah membunuh 100 jiwa dan ia telah betobat
kepada Allah, kemudian ia ditunjuk untuk datang dan pindah ke suatu
wilayah yang di dalamnya tinggal orang-orang yang taat kepada Allah
namun di tengah perjalanan sebelum tiba di wilayah tersebut ia wafat,
maka terjadilah perdebatan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab,
dimana malaikat adzab ingin membawanya karena orang tersebut wafat dan
belum melakukan amal baik, dan malaikat rahmat pun ingin membawanya
karena ia telah bertobat. Kemudian Allah subhanahu wata’ala
memerintahkan kepada malaikat untuk mengukur jarak dari tempat orang
tersebut wafat, jika ia berada di jarak yang lebih dekat ke tempat
orang-orang yang shalih yang ingin ia datangi maka ia akan dibawa oleh
malaikat rahmat dan ia telah diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala,
akan tetapi jika ia berada lebih dekat kepada tempat yang semula yaitu
tempat yang dulu ia banyak bermaksiat maka ia akan dibawa oleh malaikat
adzab. Namun orang tersebut ternyata berada di tengah-tengah diantara
dua wilayah itu, yang kemudian Allah subhanahu wata’ala memerintahkan
bumi untuk mengerut sehingga orang itu berada lebih dekat kepada wilayah
orang-orang shalih, dan setelah diukur ternyata ia berada sejengkal
lebih dekat dari wilayah orang-orang yang ahli ibadah. Sungguh Allah
subhanahu wata’ala yang telah membelanya, padahal ia hanya dalam
perjalanan menuju ke tempat orang-orang yang ahli ibadah namun ia belum
melakukan ibadah sama sekali, akan tetapi Allah subhanahu wata’ala telah
menyelamatkannya karena ia telah berjalan menuju tempat orang-orang
yang baik maka hal itu adalah juga kebaikan sehingga ia termasuk ke
dalam golongan mereka.
Maka kalimat طَلَبٌ : Thalab yang juga bermakna سَعْيٌ
: Sa’yun adalah kalimat yang memiliki makna yang sangat luas, yang
diantaranya adalah bermakna mencari. Setelah seseorang mencari ilmu dan
telah menemukannya, selanjutnya ilmu apakah yang harus ia pelajari,
kemudian ia harus mencari tempat atau cara yang baik untuk ia
mempelajari ilmu tersebut, baik dengan perantara seorang guru, dengan
perantara buku, internet atau yang lainnya, hal ini harus ia perhatikan
dan benar-benar memilih manakah yang paling baik dan paling mulia dari
sedemikan banyak cara atau tempat untuk menuntut ilmu. Adapun cara yang
paling suci dan mulia adalah menuntut ilmu dengan perantara guru yang
memiliki rantai sanad keguruan yang bersambung kepada sayyidina Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini adalah merupakan puncak kemuliaan
dalam menuntut ilmu. Dimana ilmu yang tersuci dan termulia adalah ilmu
yang bersumber dari nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Betapa
banyak para guru dari golongan orang-orang shalih yang tidak berjumpa
dengan nabi namun mereka memiliki sanad keilmuan yang mereka peroleh
dari guru-guru mereka yang sanad keilmuan mereka bersambung kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka jika hal ini telah
diperoleh oleh seseorang maka mulailah ia menuntut ilmu perlahan-lahan
dan sedikit demi sedikit, sebagaimana Al Imam As Syafi’i berkata:
اِجْعَلْ عِلْمَكَ مِلْحًا وَأَدَبَكَ دَقِيْقًا
“ Jadikanlah ilmu mu (sebagai) garam, dan adab mu (sebagai) tepung terigu”
Sebagaimana seseorang yang akan membuat roti, maka adonan roti yang
ia buat akan banyak menggunakan terigu dan sedikit garam. Demikian juga
dalam menuntut ilmu haruslah seseorang memperhatikan adab-adab dalam
menuntut ilmu, karena hal itu akan mengangkat derajatnya pada puncak
keluhuran. Sehingga belajar dari guru-guru yang memiliki sanad keguruan
kepada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hal itu akan
membawanya kepada samudera rahmat dan keridhaan Allah subhanahu
wata’ala. Dan di majelis ini dalam pembahasan kitab Ar Risaalah Al
Jaami’ah, kita berada dalam sanad keguruan yang jelas, yang bersambung
dari pengarang kitab hujjatul Islam Al Imam Ahmad bin Zen Ar, yang
berguru kepada Hujjatul Islam Al Imam Abdullah bin ‘Alawy Al Haddad Ar
shahib Ar Rathib, dan berguru kepada guru-guru yang bersambung sanadnya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadirin yang dimuliakan Allah Adapun makna العلم : Al ‘ilmu terdapat banyak makna dan sebagian pendapat mengatakan bahwa arti العلم
secara bahasa adalah berita atau kabar akan kebenaran. Adapun kalimat
secara istilah bermakna kabar atau berita yang benar tentang
perkara-perkara agama. Adapun makna kalimat فريضة
adalah wajib. Maka Allah subhanahu wata’ala mewajibkan hamba-hambaNya
untuk mencari ilmu karena Allah ingin lebih mendekatkan mereka
kepadaNya. Allah ingin menjadikan setiap detik di siang dan malam kita
semakin dekat kepada Allah subhanahu wata’ala maka Allah wajibkan kepada
kita mencari ilmu. Sehingga disebutkan bahwa antara orang yang banyak
beribadah dan orang yang berilmu memiliki perbedaan derajat yang sangat
berbeda, dimana orang yang berilmu jauh lebih mulia daripada orang yang
banyak beribadah namun tidak berilmu.
Sebagaimana contoh suatu hal yang saya alami sendiri, dulu ketika
saya di Hadramut ada seorang shalih yang ahli ibadah, ia selalu pergi
berziarah ke suatu makam orang shalih di masanya, dan suatu ketika saya
juga pergi menziarahi makam tersebut, kemudian orang shalih itu berkata
kepadaku : “Engkau menziarahi makam ini dan mengucapkan salam kepada
shahibul makam, apakah engkau mendengar jawabannya?”, lalu saya menjawab
: “Tidak, saya tidak mendengar jawabannya”, maka orang shalih itu
berkata : “jika demikian maka engkau telah bersalam kepada batu bukan
kepada shahib makam, jika engkau bersalam kepada shahib makam maka
engkau akan mendengar jawaban darinya karena menjawab salam hukumnya
wajib”. Mendengar ucapan tersebut saya pun kebingungan dan tidak bisa
menjawab, kemudian saya bertanya kepada guru mulia akan hal ini apakah
saya menziarahi batu karena ketika saya bersalam kepada orang yang di
dalam kubur itu maka saya tidak mendengar jawabannya, sebagaimana guru
mulia pemahaman beliau akan ilmu jauh lebih mendalam dari orang
tersebut. Maka guru mulia berkata: “betul bahwa orang yang berziarah
terkadang tidak mendengar jawaban salam dari shahib makam, namun menurut
keyakinanmu apakah shahib makam itu menjawab salammu atau tidak?”, maka
saya menjawab : “Ya tentu dia menjawab salamku wahai guru”, guru mulia
berkata : “Ya betul, shahib makam itu menjawab salammu, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda bahwa tidaklah
seseorang bersalam kepada penduduk kubur kecuali Allah subhanahu
wata’ala membuat mereka menjawab salam tersebut, maka shahib makam itu
juga menjawab salammu sehingga kamu tidaklah berziarah kepada batu”.
Subhanallah sangat berbeda antara pandangan keduanya, dimana orang
yang pertama pendapat atau ucapannya terkadang membuat orang yang
mendengar kecewa dan sakit hati, namun orang yang mempunyai pemahaman
yang lebih dalam tentang ilmu jawaban atau pendapatnya mententramkan
orang yang mendengarnya. Maka bukan hal yang penting apakah kita
mendengar dari ahlu kubur jawaban salam kita atau tidak, namun yang
terpenting adalah bahwa salam kita dijawab oleh ahlu kubur tersebut,
sebagaimana pula ketika kita berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala dan
mengangkat kedua tangan kita maka kita tidak pernah mendengar jawaban
dari Allah, namun apakah hal itu berarti Allah tidak mendengar atau
tidak menjawab doa kita?!, tentunya tidak demikian karena jawaban Allah
subhanahu wata’ala bukanlah berupa suara akan tetapi jawaban Allah atas
doa-doa hambaNya berupa limpahan anugerah dari kedermawananNya Yang Maha
Agung dan Maha Luhur. Kalimat فريضة
yang juga berarti wajib, namun perbedaan antara fardhu dan wajib yaitu
sesuatu yang fardhu itu kewajibannya sangat ditekankan daripada hal yang
wajib. Maka pengetahuan atau ilmu untuk kita mendekat kepada Allah
subhanahu wata’ala sangatlah diperlukan agar kita semakin dekat kepada
Allah subhanahu wata’ala, dan semakin kita dekat dengan orang-orang yang
berilmu maka kita akan semakin memiliki pemahaman yang dalam akan ilmu
tersebut. Adapun dalam pemahaman dan pengamalan ilmu, setiap individu
memiliki batas kemampuan yang berbeda dalam hal tersebut. Sebagaimana
orang-orang yang mempunyai ma’rifah akan Allah subhanahu wata’ala maka
ia jauh lebih utama daripada orang-orang yang berilmu atau orang yang
banyak beribadah. Seperti yang disebutkan bahwa satu rakaat shalat orang
yang berilmu lebih utama daripada seribu rakaat dari shalatnya orang
yang banyak beribadah namun tidak berilmu, dan satu rakaat dari
shalatnya seorang ahlul ma’rifah (orang yang hatinya selalu dekat dengan
Allah) lebih mulia daripada seribu rakaat shalatnya orang yang berilmu.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu waktu Imam Syafii dan Imam
Ahmad sedang berjalan, kemudian mereka menemui orang tua yang sedang
menggembala kambing, lantas Imam Ahmad berkata : “Orang tua yang sedang
menggembala kambing ini adalah orang yang dekat dengan Allah (ahlul
ma’rifah)”, maka Imam Syafii berkata : “Ya orang tua itu adalah ahlu
ma’rifah billah”, lantas Imam Ahmad ingin bertanya sesuatu kepadanya,
namun Imam Syafi’i melarang Imam Ahmad untuk bertanya kepadanya,dan
cukuplah dengan meminta untuk didoakan olehnya, karena jika ia bertanya
kepada orang tua tersebut maka jawabannya akan membuatnya bingung. Namun
Imam Ahmad tetap ingin bertanya kepadanya, maka ia berkata : “Wahai
orang tua, apakah engkau perkenankan aku untuk bertanya sesuatu
kepadamu?”, orang tua itu menjawab : “Ya , silahkan bertanyalah”, Imam
Ahmad berkata : “Jika seseorang lupa membaca doa qunut dalam shalat
Subuh bagaimana hukumnya?”, orang tua itu berkata : “Engkau bertanya hal
tersebut menurut pendapat madzhab Syafi’i atau menurut pendapat dalam
madzhabku?”, Imam Ahmad berkata : “Bagaimana jika menurut pendapat dalam
madzhab Syafi’i?”, orang tua itu menjawab : “Cukup hanya dengan
melakukan sujud sahwi”, “lantas bagaimana dengan pendapat madzhabmu?”,
ucap Imam Ahmad, maka orang tua itu menjawab : “Dalam madzhabku yaitu
jika seseorang yang shalat Subuh lupa membaca doa qunut maka ia wajib
berpuasa selama setahun”, dari itulah Imam Syafi’i melarang Imam Ahmad
untuk bertanya, sebab jawaban orang tua itu akan sulit untuk diterima
oleh orang-orang yang belum memahami ma’rifah kepada Allah subhanahu
wata’ala, demikian keadaan orang-orang ahli ma’rifah billah dalam
ibadahnya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari bahwa salah seorang sahabat, ia
adalah sayyidina Jabir bin Abdillah Al Anshari bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apakah sesuatu yang pertama kali
dicipta oleh Allah subhanahu wata’ala, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab : “Wahai Jabir sesuatu yang pertama kali
dicipta oleh Allah subhanahu wata’ala adalah cahaya nabimu”, shallallahu
‘alaihi wasallam. Diriwayatkan bahwa sayyidina Jabir bin Abdillah
setelah mengetahui bahwa ada sebuah hadits yang belum pernah ia dengar,
sedangkan orang-orang mengatakan bahwa semua orang yang mengetahui
hadits tersebut telah meninggal, hanya ada seorang yang masih hidup
yaitu Abdullah bin Unais yang saat itu tinggal di Mesir, sedangkan
sayyidina Jabir bin Abdillah berada di Madinah yang mana perjalanan dari
Madinah ke Mesir berjarak satu bulan perjalanan. Maka sayyidina Jabir
bin Abdillah mempersiapkan segala kebutuhannya untuk berangkat menuju
Mesir dan bertemu dengan sayyidina Abdullah bin Unais Al Anshari Ra demi
mendengarkan darinya sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang belum sempat ia mendengarnya. Sesampainya ia di kediaman
sayyidina Abdullah bin Unais ia meminta kepada penjaga pintu di rumah
beliau untuk mengabarkan bahwa sayyidina Jabir bin Abdullah sedang
menunggu di depan pintu. Tidak lama kemudian sayyidina Abdullah bin
Unais pun keluar menjumpainya, maka mereka berdua berpelukan untuk
melepas rindu yang setelah sekian lama tidak bertemu. Kemudian sayyidina
Abdullah bin Unais berkata : “Wahai Jabir apakah yang membuatmu datang
kesini, dan menempuh jarak perjalanan yang sangat jauh?”, sayyidina
Jabir berkata : “Ada satu hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
belum aku dengar, dan aku khawatir kematian akan segera menghampiriku
sebelum aku mengetahui hadits tersebut, sedangkan aku mempunyai
kesempatan untuk mendengarkannya”. Kemudian sayyidina Abdullah bin Unais
membacakan hadits tersebut kepadanya.
Hadirin yang dimuliakan Allah Selanjutnya kita berdoa kepada Allah
semoga melimpahkan rahmat dan keberkahan untuk kita semua, semoga Allah
subhanahu wata’ala mengangkat dan menghapus seluruh dosa kita dan
mengabulkan seluruh hajat kita di dunia dan di akhirat, serta
memperindah kehidupan kita, akhlak kita, dan semoga generasi para pemuda
dan pemudi semakin hari semakin membaik, semakin jauh dari perzinaan,
semakin jauh dari narkotika atau minuman keras, semakin jauh dari
kedurhakaan kepada orang tua, semakin jauh dari dosa-dosa besar,
kemungkaran dan kehinaan, dan berganti dengan terbitnya cahaya cinta
kepada nabi sang pembawa kelembutan, sayyidina Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Kita berdzikir bersama memanggil nama yang terluhur
untuk disebut, dimana dengan menyebut namaNya maka akan berpijar berjuta
cahaya, sekali lidah ini menyebut namaNya maka anugerah yang tidak
terhitung akan berdatangan kepada kita di dunia dan di akhirat.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا ..
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله...
ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ
اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ
اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ
وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ
وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.
|
|
|
|
|
|
|
0 komentar:
Posting Komentar