إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika
seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka dia mendapat dua
pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia
mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 6/2676, Muslim 3/1342)
Permasalahan
ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama,
tidak adayang menyelisihinya kecuali ahlul bida' dari Kha-warij dan Mu'tazilah,
atau orang awam yang terpengaruh pemikiran mereka.
Nash-nash
dari Kitab dan Sunnah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang
muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apabila dia bermaksud
mengikuti kebenaran, sebagaimana Alloh عزّوجلّ, berfirman menghikayatkan perkataan
orang-orang yang beriman:
رَبَّنَا
لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai
Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru. (QS.
al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Alloh
berfirman setelah itu, "Sungguh telah Aku lakukan." (HR. Muslim
I/116)
Alloh
عزّوجلّ juga berfirman:
وَالَّذِينَ
آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ
وُسْعَهَا
“Dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak
memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
(QS. al-A'raf [7]: 42)
Adapun
nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah صلي
الله عليه وسلم, "Bahwasanya ada seorang yang berwasiat
kepada keluarganya sebelum dia wafat, 'Jika aku mati, kumpulkanlah kayu bakar
yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah membakar dagingku hingga
tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian taburkanlah di lautan di
hari yang banyak anginnya.' Maka Alloh membangkitkannya dan menanyai orang
tersebut, 'Kenapa engkau lakukan itu?' Orang tersebut menjawab, 'Karena takut
kepada-Mu.' Maka Alloh mengampuninya." (HR. Bukhari,
6/514)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Laki-laki ini syak (ragu) terhadap qudrah Alloh
Ta'ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya jika tubuhnya telah
menjadi debu, bahkan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan. Ini adalah kekufuran
dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil (bodoh) tidak
mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh, maka Alloh
mengampuninya dengan keimanannya itu." (Majmu' Fatawa
3/231)
Ayat-ayat
dan hadits di atas menunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur pada suatu kesalahan
dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar kesalahan tersebut dan
meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti mengingkari qudrah Alloh
untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan udzur atas kesalahan
yang begitu besar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih berhak mendapatkan udzur
jika mereka keliru dalam ijtihad.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika telah tsabit dengan Kitabullah bahwasanya
Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang tidak disengaja dan
kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam dalil-dalil syar'i
yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat kesalahan dengan
tidak disengaja ... dan juga sesungguhnya para ulama salaf banyak yang terjatuh
dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan mereka sepakat tidak
mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan tersebut, seperti
sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar seruan orang yang
hidup, dan sebagian mereka mengingkari terjadinya mi'raj dalam keadaan jaga.
(Majmu' Fatawa 12/490, 492)
Dari
sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para ulama dan
thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan manhaj, tidak
mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad
selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara
syar'i.
Barangsiapa
begitu mudah mengeluarkan seorang ulama dari lingkup Ahlus Sunnah dengan sebab
kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah dalam
hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid'ah secara sadar ataupun tidak
sadar, karena ahli bid'ah begitu mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap
orang yang menyelisihi mereka.
Kehati-hatian
dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling
memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan tugas para ahli ilmu yang
telah Alloh tekankan di dalam firman-Nya:
وَإِذَ
أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Dan
(ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan
jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali Imran [3]: 187)
Hanya
saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh
seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal itu
semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia
berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada
perkataannya bukan pada person (orang) nya.[1]
0 komentar:
Posting Komentar