Setelah ini saya akan membawakan
pernyataan dalam masalah
berdzikir setelah shalat wajib dan juga berdzikir
serta berdo'a secara umum dari para ulama kita dari
kalangan madzhab Imam Syafi'I رحمه الله bahkan juga dari perkataan Imam Syafi'inya رحمه الله sendiri:
PERTAMA:
Imam Syafi'i رحمه
الله sendiri telah berkata
di dalam kitabnya yang tersohor "al Umm" (1/127):1
….Dan aku (Imam Syafi'i) lebih memilih bagi
para imam dan makmum untuk berdzikir setelah shalat (yang lima waktu) dengan cara menyembunyikannya (yakni tidak mengeraskan
suaranya), kecuali bila imam harus mengajarkannya kepada makmum, maka ia (boleh)
untuk mengeraskannya sampai mereka bisa mengikutinya, tetapi kemudian ia
(imam) kembali menyembunyikannya (lagi seperti semula), karena sesungguhnya
Allah سبحانه و تعالي
telah berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ
بِهَا
"...dan janganlah kamu mengeraskan suaramu
dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya..."[QS. Al
Isra': 110]; maksudnya
adalah— wallahu Ta'ala a'lam— (ketika) berdo'a; "...dan janganlah kamu mengeraskannya.." (maksudnya adalah: janganlah) kamu mengangkat (suaramu ketika
berdo'a), "..dan janganlah pula kamu merendahkannya..." sehingga tidak terdengar oleh dirimu
sendiri.2
KEDUA:lmam Nawawi
Imam Nawawi telah menyatakan di il.iliim kitab
al Majm’ Syarah Muhadzdzab (III:
484-488)3 sebagai berikut:
Telah terjadi kesepakatan antara Imam Syafi'i
dan para ulama pengikut madzhab Syafi'i— rahimahumullahul Jami'— tentang
disunnahkannya dzikir setelah selesai dari Salam, dan hal itu berlaku bagi imam
maupun makmum (shalat berjama'ah), dan bagi seorang yang shalat sendirian, baik
dia adalah seorang laki-laki maupun wanita, ataupun dia seorang yang sedang
safar ataupun tidak... Imam Syafi'i mengatakan:... (kemudian Imam Nawawi membawakan pernyataan Imam Syafi'i di
atas). Dan demikianlah juga apa yang telah dinyatakan oleh para ulama dari kalangan
madzhab Syafi'i: Bahwa
dzikir dan do'a yang dilakukan setelah shalat itu disunnahkan untuk disembunyikan, kecuali bila seorang imam yang
hendak mengajarkannya kepada orang-orang, maka dia boleh untuk mengeraskannya,
agar mereka dapat belajar (lafazh-lafazh dzikir tersebut darinya), dan mereka telah dapat belajar darinya, maka
hendaklah ia tidak mengeraskannya lagi... adapun yang biasa
dilakukan oleh kebanyakan
orang dengan menugaskan
imam untuk khusus (berdzikir dan) berdo'a (untuk sekalian jama'ah-nya) pada
shalat Shubuh dan Ashar, maka hal itu tidak ada dasarnya (dalam Agama)... Bahkan yang disunnahkan bagi imam untuk menghadap kepada
jema'ahnya (setelah selesai shalat). Wallahu a'lam.
KETIGA:
Imam Nawawi juga telah berkata di tempat yang
lainnya di dalam kitabnya Syarah Muslim (V/84)4:
Dalam sebuah riwayat: "Bahwa meninggikan
suara di saat berdzikir ketika manusia baru saja menyelesaikan shalat wajib itu adalah
hal yang biasa terjadi pada masa Nabi صلي الله عليه
وسلم " dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah mengatakan:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ
إِذَا سَمِعْتُهُ
"Dahulu aku mengetahui selesainya (Nabi
صلي الله عليه وسلم
dan para Shahabatnya رضي
الله عنهم) dari shalat wajib dengannya (mendengar
suara dzikir mereka)."5...
Sedangkan (Para ulama) yang
lainnya, mereka semuanya sepakat, bahwa mengeraskan suara di saat berdzikir dan
bertakbir itu tidaklah disukai. Dan Imam Syafi'i telah memahami bahwa
hadits-hadits ini dimaksudkan untuk dilakukan pada batas waktu yang
singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan
lafazh dzikir itu kepada
makmumnya. Dan tidak
berarti bahwa mereka mengeraskannya secara terus menerus.
Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih memilih, bagi Imam dan makmum untuk
menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah shalat wajib, yakni;
sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang keras -pen), kecuali bila sang imam
hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya, maka dia boleh untuk
mengeraskannya, sehingga dia melihat bahwa para makmumnya telah mampu untuk
berdzi-kir (sendiri-sendiri). Bila demikian, maka hendaknya dia (imam) menyembunyikan (lagi
seperti semula).
Beginilah caranya Imam Syafi'i memahami
hadits-hadits di atas (dan yang semisalnya).
KEEMPAT:
Ia juga telah menyatakan di dalam kitab
at Tahqiq (hal. 219) sebagai
berikut:
Dan telah disunnahkan untuk berdikir dan
ber-do'a setiap setelah selesai dari salam; dengan cara menyembunyikan (tidak
mengeraskan) bacaan (dzikir dan do'anya itu), terkecuali bila seorang imam yang
hendak mengajarkan bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka dia boleh untuk mengeraskan
bacaannya tersebut. Namun,
bila dia melihat bahwa orang-orang (makmum) telah belajar darinya
bacaan-bacaan tersebut,
maka hendaklah dia kembali untuk menyembunyikan kembali.6
KELIMA:
Kemudian Imam Diyaa-uddin al Azdra'i
(w. 731 H)7 pernah
menyatakan:
Imam Syafi'i رحمه
الله memahami hadits-hadits yang menunjukkan bahwa
berdzikir (setelah shalat itu) dengan suara yang keras, bahwa hal itu
dimaksudkan bagi orang yang hendak mengajarkan (lafazh dzikir-dzikir tersebut).8
KEENAM: Al Hafizh Ibnu Hajar:
Al Hafizh Ibnu Hajar telah berkata di dalam
kitabnya Fath-hul Bari (II/326)9:
Dan di dalam redaksi hadits di atas ada
isyarat bahwa para Shahabat, tidaklah meninggikan suara mereka di dalam
berdzikir, di saat yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas di atas.
Saya (Ibnu Hajar) katakan: Bahwa mengkaitkan
perbuatan tersebut kepada para Shahabat, perlu diteliti kembali, sebab pada saat Itu tidak tertinggal
dari para Shahabat kecuali sedikit.
Imam Nawawi
mengatakan: Dan Imam Syafi'i telah
memahami bahwa hadits-hadits ini dimaksudkan dilakukan pada batas waktu yang
singkat, sehingga sang imam dapat mengajarkan lafazh
dzikir itu kepada makmumnya, dantidak berarti bahwa
mereka mengeraskannya secara terus menerus. Ia berkata: Bahwa Imam Syafi'i lebih
memilih bagi Imam dan makmum untuk menyembunyikan bacaan dzikir mereka (setelah
shalat wajib sendiri-sendiri dan tidak dengan suara yang tinggi), kecuali bila
imam hendak mengajarkan bacaan dzikir itu kepada makmumnya.
KETUJUH:
Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al Malibari
di dalam kitabnya Fat-hul Mu'in (III: 185-186)10 setelah membawakan pernyataan
Imam Syafi'i di atas secara lengkap dari kitab al Umm,
maka ia mengatakan:
Faidah: Syaikh kami mengatakan: Adapun
(berdzikir atau berdo'a) dengan suara yang sangat keras di dalam masjid,
sehingga mengganggu orang
yang sedang shalat, maka sudah selayaknya hal seperti ini untuk DIHARAMKAN.
KEDELAPAN:
Lihat juga nukilan di atas beserta sedikit
keterangannya di kitab Hasyiyah I'anatith Thalibin
(1:185), karya Sayyid al Bakriy bin Sayyid Muhammad
Syatha' ad Dimyathiy.
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam
Syafi'i di atas, jelaslah bagi kita bahwa madzhab beliau dalam masalah berdzikir setelah shalat yang lima waktu
adalah dengan sendiri-sendiri, tidak berjama'ah/beramai-ramai, serta tidak
dengan mengeraskan suara,
sedangkan yang biasa diamalkan oleh saudara-saudara kita kaum muslimin di negeri ini khususnya, maka saya
tidak mengetahui, dalil apa
serta madzhab siapa yang mereka ikuti itu!!
Kemudian, di bawah ini akan saya bawakan juga
sebagian keterangan dari para ulama madzhab Syafi'i yang lainnya tentang sifat (cara) berdzikir yang benar,
apakah dengan suara yang
keras atau bagaimana?
KESEMBILAN: Imam Ghazaliy
Imam Abu Hamid al Gazaliy asy Syafi'I
رحمه الله telah berkata di
dalam kitabnya Ihya' 'Ulumuddin (I/358)11 ketika menerangkan adab-adab
dalam berdo'a, ia menyebutkan:
Keempat: Dengan merendahkan suara,
antara diam dan keras
(seperti seorang yang sedang berbisik) dengan dalil yang diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari...
12
'Aisyah رضي الله
عنها pernah berkata ketika menafsirkan firman
Allah:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ
بِهَا
…dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya... [QS. al
Isra': 110] Maksudnya "dalam
shalatmu" adalah "dalam do'amu (kepada Allah)."
Allah juga telah memuji Nabi-Nya Zakariya
عليه السلام dengan firman-Nya:
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء
خَفِيّاً
Yaitu tatkala la berdoa kepada
Tuhannya dengan suara yang
lembut. [Maryam:
3]
Allah سبحانه و تعالي juga telah berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً
إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri
dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [QS. Al A'raf: 55].
KESEPULUH: Imam Nawawi
Kemudian Imam Nawawi juga telah
menu kil pernyataan Imam al
Ghazaliy di atas dengan ringkas di kitabnya al Adzkar
hal. 470.
KESEBELAS:
Imam Nawawi رحمه
الله juga telah berkata di dalam kitab Syarah Muslim (III/ 308)13:
Bab (yang di dalamnya terdapat pembahasan
tentang) disukainya kita untuk merendahkan suara pada saat berdzikir, kecuali
pada tempat-tempat yang
diperintahkan oleh Agama untuk dikeraskan, seperti pada saat bertalbiyah, dan lain-lain... Serta (bab) tentang sabda beliau kepada para
shahabatnya, ketika mereka
mengeraskan suara dalam bertakbir: Wahai manusia,
hendaklah kamu menyayangi diri kalian sendiri, karena sesungguhnya kamu tidaklah menyeru Dzat Yang tuli dan jauh,
bahkan kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia itu
bersama kalian (dengan ilmu serta pengawasan-Nya)."
Makna kata "( اِرْبَعُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ)"
adalah: Kasihanilah diri kalian sendiri dengan cara merendahkan suara kalian (di dalam berdzikir),
karena meninggikan suara itu
hanyalah dilakukan oleh seseorang yang sedang memanggil orang yang berada jauh
darinya, agar orang yang berada jauh darinya itu dapat mendengarnya. Sedangkan
kalian saat ini sedang menyeru Allah Ta'ala, dan Dia
tidak tuli dan tidak juga jauh, bahkan Dia itu Maha Mendengar dan Dekat. Dan Dia selalu berserta kalian
dengan Ilmu dan
pengawasan-Nya. Maka dalam hadits ini ada (faidah): Disunnahkannya kita untuk
merendahkan suara di saat berdzikir, bila tidak ada manfaatnya bagi kita untuk
meninggikan suara. Karena sesungguhnya bila seseorang itu merendahkan suaranya di saat berdzikir, maka
hal itu dapat membuat dia lebih mengagungkan dan meninggikan Allah. Dan bila
memang diperlukan untuk meninggikan suara di saat berdzikir, maka boleh untuk meninggikannya
sebagaimana yang telah
disebutkan di dalam beberapa hadits. Sabda beliau yang disebutkan di dalam
riwayat yang lain dari hadits ini: "Bahwa Dzat Yang kalian serukan itu lebih dekat kepada kalian daripada leher hewan tunggangan kalian,"
maka lafazh itu haruslah difahami seperti yang telah lalu (yakni Allah itu
sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya, sehingga tidak perlu untuk mengeraskan
suara di dalam berdzikir -pen).
KEDUA BELAS: Imam Baihaqiy
(Imam) Baihaqi—salah seorang pembesar ulama madzhab Syafi'i (w. 458 H)—berdalil dengan hadits ini dan yang lainnya dalam hal
menyembunyikan bacaan
dzikir dan do'a (artinya: Tidak mengeraskannya).14
KETIGA BELAS: Al 'Izz bin Abdis
Salam
Imam al 'Izz bin 'Abdis Salam asy Sya-fi'iy
(w. 660 H) telah menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya,
sebagaimana yang tercantum
di dalam Fatawanya hal.
46-47 no: 15 sebagai berikut:
Soal: Apakah
disunnahkan bagi kita untuk berjabatan tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar?
Dan apakah juga disunnahkan bagi imam untuk berdo'a setelah selesai salam
(shalat) atau tidak? Dan bila engkau mengatakan bahwa hal itu disunnahkan, maka
apakah imam itu juga harus menghadap ke kiblat atau tidak? Kemudian apakah boleh
untuk mengeraskan suaranya
atau justru menyembunyikannya? Kemudian, apakah seorang yang berdo'a (saat) itu juga boleh
untuk mengangkat kedua tangannya atau tidak? Karena ini bukan merupakan tempat-tempat yang di situ Nabi
صلي الله عليه وسلم
mengangkat kedua tangannya.
Jawab: Berjabatan
tangan setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar termasuk
perbuatanbid'ah...15 Dan Nabi it biasa membaca
beberapa dzikir/wirid
setelah shalat, dan mengucapkan istigfar tiga kali, kemudian beliau pergi (dari tempatnya)...
Dan kebaikan itu hanyalah kita dapati dengan cara meneladani Rasuli. Imam
Syafi'i pun menyukai agar seorang imam itu segera meninggalkan tempatnya setelah
selesai salam (pastinya, setelah membaca beberapa wirid/dzikir yang
disyari'atkan Nabi صلي الله عليه وسلم)... Dan
tidaklah disukai bagi seorang pun untuk mengangkat kedua tangannya di saat
berdo'a, kecuali pada saat-saat dan tempat yang di situ Rasulullah صلي الله عليه وسلم, mengangkat kedua
tangannya, dan juga tidak diperbolehkan untuk mengusapkan kedua tangannya itu ke
mukanya setelah selesai dia
berdo'a, karena tidak ada yang melakukannya, kecuali orang-orang yang
jahil (bodoh).
KEEMPAT BELAS: Imam Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir asy Syafi'i رحمه الله berkata di dalam kitab
Tafsirnya (III/307-308)16:
...Maka Dia berfirman: "Berdoalah kepada Tuhanmu... [QS.
Al A'raf: 205].
Ibnu Juraij mengatakan dari 'Atha al
Khurasani dari Ibnu Abbas, ia berkata dalam rangka menafsirkan ayat di atas: Maksudnya adalah
(berdo'a) dengan tersembunyi. Imam Ibnu Jarir berkata—menafsirkan ayat di atas—: Maksudnya adalah dengan merendahkan diri dalam
rangka menta'ati Allah, dan berdo'a dengan penuh kekhusyuan hati dan keyakinan
akan ke-Esaan-Nya dan ke-Mahakuasaan-Nya hanya antara kalian dan Dia semata
dengan tidak mengeraskan suara dan riya... Ibnu Juraij mengatakan: Dimakruhkan
untuk mengeraskan suara di dalam berdzikir dan berdo'a, begitu juga dimakruhkan
untuk berteriak ketika
berdo'a, akan tetapi justru kita diperintahkan untuk melakukannya dalam
keadaan merendah diri dan
tenang.
Al Hafizh Ibnu Katsir juga berkata di tempat
yang lainnya (III/389)17:
Adapun Firman-Nya: "...dengan merendahkan diri dan rasa takut..." maksudnya adalah: Ingatlah akan
Tuhanmu di dalam hatimu dengan penuh rasa harap dan takut (yang berpadu), dan dengan bisikan lisan bukanlah
dengan suara yang tinggi,
untuk itulah Dia (lebih menegaskannya lagi dengan) firman-Nya: "Dan dengan tidak mengeraskan suara,"
begitulah seharusnya cara seseorang berdzikir kepada Allah, dan bukannya dengan suara
yang tinggi dan sangat keras.
KELIMA BELAS: Al Hafizh Ibnu
Hajar:
Imam Ibnu Hajar al 'Asqalani —seorang ulama yang dikenal menganut
madzhab Syafi'i telah berkata di dalam kitabnya Fat-hul Baari (VI/240)18:
Maksud dari sabda beliau di dalam
hadits: (اِرْبَعُوا) adalah: "kasihanilah (dirimu
sendiri)." Imam ath Thabari mengatakan: Di dalam hadits ini ada larangan untuk mengeraskan
suara di dalam berdo'a dan
berdzikir, dan seperti itulah pendapat umumnya kaum Salaf dari kalangan para
Shahabat dan Tabi'in.
Semua ini adalah pendapat dari para ulama
kalangan madzhab Imam Syafi'iy رحمهم الله. Dan begitulah juga pendapat para ulama dari madzhab yang empat
lainnya.19
Copyleft © 2009, Ibnu Majjah 4 Ummat
Muslim
1 Dalam buku aslinya Penulis
(Ibnu Saini) mencantumkan perkataan para ulama dari Madzhab Syafi’Ii dalam teks arab, bagi yang
menginginkannya silahkan beli bukunya (Ibnu Majjah)
2 Bagi yang mampu untuk
berbahasa Arab; silahkan merujuk ke kitab al Umm
di bagian akhir pembahasan masalah shalat bab:
كَلَامُ الإِمَامِ وَجُلُوسِهِ بَعْد
السَّلَامِ
Atau bagi mereka yang belum mampu untuk
berbahasa Arab, bisa juga
untuk merujuk ke kitab al Umm edisi terjemahan jilid: I hal: 296, pada Bab: "Berkata-katanya imam
dan duduknya sesudah memberi salam," disebutkan sebagai berikut:
"...Saya memandang baik bagi imam dan
makmum. Bahwa berdzikir
kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan
dzikir. Kecuali bahwa dia itu (adalah seorang) imam
yang harus orang belajar dari padanya. Maka ia (boleh untuk) mengeraskan suaranya. Sehingga ia melihat bahwa orang
(lain) telah mempelajari (lafazh dzikir itu) dari padanya, (maka) kemudian ia (kembali) mengecilkan
suaranya. Allah—'azza wa
Jalla—berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ
بِهَا
'Dan janganlah engkau sembahyang dengan
suara keras dan jangan pula
diam saja.' Yakni Allah Yang maha Tahu. Ialah: Do'a. Tidak engkau keraskan: Artinya: Tidak engkau tinggikan
suara. Dan tidak diam saja: Artinya: Sehingga tidak dapat engkau dengar sendiri."
Alhamdulillah kitab terjemahan ini telah lama
dan banyak beredar di negeri kita ini. Dengan demikian saya tidak akan dituduh
mengada-ada dalam hal ini
3 Tepatnya di Kitabush Shalah setelah pembahasan
salam.
4 Tepatnya di kitab: الــمَسَاجِدِ وَمَوَاضِع
الصَّلَاةِ, bab: الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاةِ , ketika
mensyarah hadits no: 583
5 Shahih: Diriwayatkan oleh Bukhari no: 841
dan Abu Dawud no: 1002 & 1003
6 Lihat: adz Dzikrul Jama'iy, Bainal
Ittiba' Wal lbtida hal. 46, karya DR. Muhammad al
Khumais
7 Lihat: riwayat hidupnya di kitab al A'lam
karya az Zerikli (IV: 291)
8 Lihat: kitab Ishlahul Masajid hal. 111 oleh Syaikh
Jamaluddin al Qasimi, dan kitab adz Dzikir al
jama'i Bainal Ittiba' wal
Ibtida' hal. 14, oleh DR. Muhammad bin 'Abdirrahman al
Khumais.
9 Tepatnya di kitab:
(الأَذَان), bab:الذِّكْرُ بَعْدَ الصَّلَاة, Ketika
mensyarahkan hadits no:
841.
10 Tepatnya di kitab: Shalat,
pada pembahasan dzikir dan
do'a setelah shalat.
11 Tepatnya di kitab:
(الأَذْكَرُ
والدَّعَوَاتُ)
bab:
(فِيْ أَدَبِ
الدُّعَاءِ وَفَضْلِهِ وَفَضْلِ بَعْدِ الأَدْعِيَةِ الــمَأْثُوْرَةِ وَفَضِيْلَةِ
الاِسْتِغْفَارِ)
Kitab ini juga banyak beredar di negeri kita
ini, walhamdulillah.
12 Muttafaq 'Alaihi: Al Bukhari no: 2992,
Muslim no: 2704, akan tetapi lofazh yang
disebutkan di atas merupakan lafazh hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud no: 1526, 1527
13 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits no: 2704
14 Lihat nukilannya di kitab
Majmu’ Syarah Muhadzdzab (III: 452) dan kitab
Fat-hul Mu’in (I: 185), bersama kitab I’anatuth
Thalibin
15 Dan saya telah terangkan
tentang kesepakatan para ulama madzhab untuk membid’ahkan berjabatan tangan setelah shalat
wajib, di risalah saya Hukum Berjabatan Tangan di dalam Islam,
Pustaka al ‘Ilmu. Silahkan merujuk ke risalah tersebut bagi siapa yang
menginginkannya
16 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-205 dari surat al A'raf, silahkan merujuk ke kitab Tafsir Ibnu
Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri
kita ini, walhamdulillah
17 Tepatnya ketika beliau menafsirkan ayat ke-55 dari surat al A'raf,
silahkan merujuk ke kitab
Tafsir Ibnu Katsir yang juga telah banyak beredar di negeri kita ini, walhamdulillah
18 Tepatnya ketika beliau mensyarah hadits
no: 2992
19 Lihat keterangannya di kitab
al Hawadits Wal Bida’ hal.66 dan adz Dzikirul Jama’i hal.43-51.
0 komentar:
Posting Komentar